
”Future’s made of virtual insanity now, always seem to be governed by this love we have, for useless, twisting, our new technology,” – Virtual Insanity, Jamiroquai (1996).
Pada awal November 2021, Instagram memperkenalkan fitur Add Yours pada Instagram Stories. Saat itu, tidak ada yang mengira dampaknya bisa separah ini. Para pengguna Instagram seakan terbuai dalam gegap gempita fitur baru, sehingga tidak menyadari konsekuensi dari tindakan mereka. “Halah, cuma share foto aja, kok,” begitu pikir kebanyakan orang. Namun, bagaimana jadinya jika “hanya” sharing foto dapat dijadikan kedok tindakan kriminal oleh para pelaku kejahatan?
Awalnya, stiker Add Yours bertujuan untuk mendorong interaksi lebih banyak antar audiens dalam Instagram Stories. Ketika melakukan posting Stories dengan stiker Add Yours, orang lain dapat merespon Stories tersebut dengan menambahkan stories mereka sendiri sehingga terbentuk sebuah thread. Terlepas dari kepopulerannya, fitur ini mulai memicu kekhawatiran. Banyak stiker yang menantang netizen untuk memposting beberapa hal yang seharusnya bersifat privat seperti variasi nama panggilan, nama anak, tempat tinggal dan sebagainya. Informasi-informasi yang diunggah lalu bebas diakses oleh semua pengguna Instagram.
Kesediaan netizen dalam mengunggah informasi pribadinya di dunia maya dapat dihubungkan dengan kebiasaan oversharing. Dilansir dari Halodoc, oversharing adalah kebiasaan membagikan kehidupan pribadi dalam media sosial yang juga menjadi salah satu gejala kecanduan media sosial. Secara internal, oversharing dapat berakar pada mekanisme seseorang untuk meredakan rasa cemas dalam diri yang disebut self-regulation. Self-regulation menjadi sebuah respon atas kondisi kesehatan mental yang sedang dialami seseorang seperti depresi dan gangguan kecemasan.
Seseorang dapat berusaha dengan keras untuk mengatur persepsi orang lain terhadap dirinya sehingga ia “menjual” berbagai bagian dari dirinya, yang seharusnya personal sekalipun, dengan harapan agar orang-orang menyukainya. Oversharing juga bisa menjadi respon trauma seseorang terhadap masa kecil atau masa lalunya. Hal ini sering terjadi pada orang-orang yang mempunyai anxious attachment type. Tipe ini pada umumnya terbentuk akibat kurangnya kasih sayang yang konsisten oleh orang tua pada masa kecil.
Di sisi lain, secara eksternal, oversharing seakan menjadi hal yang lumrah di masyarakat karena maraknya acara reality TV dan juga media sosial. Batasan antara urusan pribadi dan publik menjadi buram dan tidak jelas. Banyak orang tidak menyadari bahwa dengan mereka membagikan foto atau video yang mengandung informasi pribadi, mereka membuka diri mereka kepada seluruh pengguna internet. Informasi apapun yang kita bagikan di dunia maya dapat dijadikan dasar bagi pencuri identitas untuk melakukan tindak kejahatan, mulai dari cyber-stalking, penipuan, sampai perampokan. Oleh karena itu, tindakan oversharing ini menjadi tambang emas bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan berbagai tindakan penipuan dan pencurian data pribadi.
Hal ini menimpa salah satu korban pengguna fitur Add Yours yang kasusnya viral di Twitter. “Pagi tadi teman saya telepon, nangis-nangis abis ditipu katanya. Biasalah, penipu yang telepon minta transfer gitu. Yang bikin teman saya percaya, si penipu memanggilnya “Pim”, “Pim” adalah panggilan kecil teman saya, yang hanya orang dekat yang tahu. Terus dia inget dia abis ikutan ini (menggunakan fitur Add Yours),” cuit seorang pengguna Twitter (@dietamoechtar_).
Dari kasus fitur Add Yours milik Instagram ini, dapat dilihat bahwa informasi sesederhana foto atau nama panggilan masa kecil kita pun dapat dijadikan bahan penipuan dan kejahatan oleh para pelaku kriminal. Banyak orang terkejut ketika informasi-informasi tersebut ternyata dapat membuat mereka dan orang-orang terdekat mereka menjadi rentan terhadap tindak kejahatan. Hal ini membuktikan bahwa ancaman ini nyata dan sangat dekat dengan kita. Oleh karena itu, kewaspadaan dalam berselancar di internet menjadi suatu hal yang penting.
Memang benar, sudah banyak perusahaan sosial media yang mengerti betapa berbahayanya pencurian identitas ini dan berusaha sebisa mereka untuk melindungi para penggunanya dari tindak kejahatan. Namun, upaya ini tidak akan pernah cukup. Ini dikarenakan para pelaku kejahatan akan semakin licik dalam mencari cara untuk mengekstrak informasi dari pengguna-pengguna yang lengah. Oleh karena itu, tanggung jawab dan kewaspadaan dalam membagikan sebuah informasi tetap berada di tangan para pengguna. Dengan terus waspada dan berpikir akan konsekuensinya terlebih dahulu, kita dapat mencegah tindak kejahatan ini tanpa harus menghentikan semua hal yang ingin kita bagikan.