Pandemi & Karantina : Hati-hati dengan Cabin Fever!

Sumber: Freepik

KawanWH bosen gak sih di rumah aja? Apakah kalian merasakan perubahan dalam diri kalian setelah beberapa bulan karantina mandiri? Ternyata, situasi pandemi ini dapat mempengaruhi kesehatan mental kita, lho!

Pada hari Sabtu (19/9), Shine, organisasi non-profit milik anak muda yang memiliki inisiatif sosial untuk mempromosikan nilai-nilai kesehatan mental menyelenggarakan seminar daring yang berjudul “Cabin Fever 101: Karantina dan Kesehatan Mental”. Bagi KawanWH yang belum tahu, Cabin fever adalah respon psikologis akibat terisolasi atau terkurung dalam waktu yang lama sehingga memunculkan rasa kesepian. Webinar tersebut dipandu oleh Nurmalita Dyah dan pemateri Dra. Lina E. Muksin, MSi., Psi., CHt.

Dalam webinar ini, ibu Lina selaku pemateri menyampaikan bahwa cabin fever dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Hal ini sangat penting untuk diketahui lebih cepat agar dapat diatasi sedari dini. Cabin fever dapat dideteksi dari gejala-gejala ini, antara lain: emosi yang mudah berubah, hilangnya semangat beraktivitas, dan tingkat kesehatan fisik dan mental yang menurun. Situasi ini sangat rentan dialami oleh orang dengan masalah kejiwaan (ODMJ), orang dengan tipe kepribadian tertentu, penyandang disabilitas, dan orang-orang yang tinggal seorang diri. Menurut Ibu Lina, terdapat beberapa tips untuk mengatasi cabin fever, antara lain: bersahabat dengan waktu, lakukan aktivitas rutin seperti biasanya, mengatur pertukaran udara di dalam ruangan, sesekali keluar rumah dengan tetap menggunakan masker, tetap bergerak, mencari kegiatan baru, hentikan pikiran yang terlalu jauh, mengkonsumsi makanan dan minuman bergizi, tetap berkomunikasi dan terhubung serta membuat tujuan perhari/perminggu.

Selain membahas cabin fever, Ibu Lina juga memaparkan beberapa teknik untuk mengatasi situasi stress. Serangkaian teknik ini bertujuan agar individu dapat berfungsi optimal dan mampu mengatasi kehidupan dengan lebih baik.

Teknik yang pertama adalah Deep Breath atau mengatur pernafasan, teknik ini bertujuan untuk melancarkan aliran oksigen dan sari makanan dalam darah yang dibutuhkan oleh otak agar dapat bekerja secara maksimal. Teknik yang kedua adalah mindfulness atau grounding, maksudnya adalah individu dilatih untuk memusatkan kesadaran pada situasi “kini dan di sini” yang dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan yang berlebihan. Teknik terakhir adalah Emotional Freedom Technique (EFT) yang bisa dilakukan dengan cara mengetuk titik-titik tertentu pada tubuh guna mengembalikan keseimbangan energi.

Menurut penelitian yang dilakukan Gary Craig di tahun 1990-an, teknik EFT ini dapat digunakan untuk mengobati kecemasan dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Di akhir acara, Ibu Lina pun mengingatkan kepada semua peserta untuk tetap menjaga kesehatan serta kewarasan mental di masa pandemi ini. Karena pandemi ini belum kunjung berakhir, kesehatan mental menjadi sangat rawan untuk terdampak.