Sorak sorai penonton di tribun mungkin masih terdengar jelas di telinga para pejuang pengharum bangsa. Para atlet Olimpiade dengan penuh kegigihan, berlomba untuk meraih kemenangan. Berbagai lensa kamera berada di samping para atlet dan ikut berlomba dalam mengambil gambar dan video untuk diunggah ke media sosial. Bermacam-macam merek dan selebriti terkenal pun tidak lupa untuk memberikan selamat dan hadiah kepada para pemenang. Akan tetapi, semua itu perlahan surut ketika Paralimpiade dimulai.
Pencapaian tentu harus diapresiasi. Sekecil apapun itu di mata orang lain, terdapat jerih payah yang terkandung di dalamnya. Di tengah selebrasi yang ditujukan untuk para atlet Olimpiade setelah berkompetisi, acara Paralimpiade malah sepi peminat. Alih-alih bersemangat mengabarkan perolehan skor yang menipis, terdapat orang-orang yang masih harus menyerukan kekecewaannya terhadap sikap masyarakat yang acuh tak acuh.
Dikenal dengan istilah ableism atau abilisme, diskriminasi ini dapat bermula dari kesalahpahaman sehingga tidak selalu blak-blakan. Tingginya prasangka sosial yang dimiliki seseorang terhadap penyandang disabilitas dibuktikan dengan kurangnya antusiasme dari para masyarakat karena alasan iba terhadap atlet Paralimpiade. Para jurnalis juga hanya berputar-putar untuk mencari kisah inspiratif yang membawa keuntungan bagi mereka dari para atlet. Baik di media sosial maupun media cetak, perbedaan perlakuan para atlet secara kontras terlihat.
Menjadi fenomena global, atlet Paralimpiade nyatanya masih akrab dengan situasi ini. Ketidaksetaraan terhadap atlet Paralimpiade bahkan sudah terlihat di tahun 1980 saat Moskow menolak untuk menjadi tuan rumah Paralimpiade. Penolakan ini didasari oleh keputusan Partai Komunis yang tidak ingin negaranya diasosiasikan dengan penyandang disabilitas. Aksi ini dilanjutkan oleh Los Angeles yang sama-sama memperlihatkan ketidak inginannya untuk mengadakan Paralimpiade. Sayangnya, perlakukan pihak resmi Olimpiade terhadap atlet Paralimpiade yang selalu dinomor duakan tidak berhenti begitu saja.
Kemunculan isu lain seperti jaminan kesehatan, perlakuan atlet yang buruk, hingga ketidaksetaraan gaji atau bonus semakin mengakar. Bahkan, terdapat dua atlet Paralimpiade asal Amerika Serikat yang berpikir untuk mewakili negara lain dengan alasan tingginya biaya latihan di negaranya. Negara berkembang seperti Indonesia bahkan harus membuat klarifikasi tiap tahunnya mengenai pemberian bonus dan penghargaan yang dijanjikan seimbang dengan atlet Olimpiade lainnya.
Walaupun sempat mengalami kemajuan dengan menambahkan presenter dengan disabilitas pada Olimpiade London 2012 pada suatu siaran TV Amerika Serikat, di tahun 2016, para atlet Paralimpiade harus merasakan budget mereka dipergunakan untuk renovasi Olympic Village. Akan tetapi, Olimpiade Tokyo 2020 dijadikan awal bersejarah untuk para atlet Paralimpiade dari Amerika Serikat yang akhirnya mendapatkan gaji yang setara dengan atlet Olimpiade. Selain itu, Olimpiade Tokyo 2020 juga menyandang status games yang paling terhubung di mana berbagai liputan disiarkan oleh stasiun TV dan mitra siaran untuk miliaran penonton di seluruh dunia.
Kemajuan dalam representasi media tentu diharapkan dapat meningkatkan kesadaran sekaligus mengubah sikap penonton tentang disabilitas. Selain mendidik, kabar baik ini sekaligus menciptakan suatu platform bagi para atlet untuk menginspirasi dan mengontrol representasi mereka. Tentu, bukan hanya tentang perihal material atau keinginan pribadi yang menjadi sorotan. Melainkan pembicaraan mengenai disabilitas itu sendiri. Hal inilah yang nantinya membentuk masyarakat dengan pemahaman yang lebih dalam sehingga penghargaan untuk para atlet tidak berhenti saat Olimpiade selesai.
Alih-alih merayakan keunggulan para atlet yang berkinerja tinggi, sangat disayangkan jika ajang olahraga bergengsi seperti Paralimpiade hanya dipandang sebagai acara dalam mengupayakan kesetaraan. Paralimpiade membuktikan bahwa penyandang disabilitas berhak dan layak untuk diakui seperti layaknya atlet Olimpiade lainnya. Dengan menekankan pencapaian para penyandang disabilitas, tayangan Paralimpiade dapat menjadi lebih dari kumpulan cerita inspiratif.