Ramai Patroli di Laut Cina Selatan, Apakah Indonesia Terancam?

KRI Multatuli, salah satu kapal perang yang ikut menjaga Laut Natuna. Sumber : CNN Indonesia/Hamka Winovan.

Pada Kamis (16/9), lima Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) ditugaskan di Kepulauan Natuna, Riau, sebagai bentuk peningkatan patroli di wilayah perairan. Tiga KRI berpatroli dalam pelayaran, sementara dua lainnya bersiaga di Fasilitas Pangkalan Pelabuhan (Faslabuh) TNI AL Selat Lampa, Riau. Melihat kehadiran KRI dianggap tidak sebanding dengan armada yang ditempatkan, Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) I Laksamana Madya Muhammad Ali meluncurkan bantuan udara di wilayah Natuna Utara yang memiliki luas 191.000 km2 tersebut.

Bagi Indonesia, kendali aktivitas di perairan menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya, letak wilayah strategis yang membuat Natuna Utara dilimpahi kekayaan laut juga sekaligus menambah kekhawatiran. Simak fakta-fakta yang KawanWH perlu tahu tentang keamanan Natuna Utara:

Apa yang terjadi di Laut Cina Selatan (LCS)?

Bermula di tahun 1947, Tiongkok mengklaim sepihak perluasan wilayahnya yang kemudian dideklarasikan dalam sembilan garis putus-putus (nine dash lines) di wilayah Laut Cina Selatan pada penguasaan Partai Komunis di tahun 1953. Sembilan titik imajiner Tiongkok ini berada di tengah laut dan menjorok bertumpang tindih dengan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan batas wilayah eksklusif negara lain, seperti kepulauan Spratly-Paracel Vietnam, dan Scarborough Reef Filipina yang memunculkan sengketa kepemilikan wilayah antara Tiongkok dan berbagai negara-negara di wilayah Asia Tenggara.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resource Study dalam diskusi KAHMI Nasional pada Rabu (27/10) lalu, Laut Cina Selatan diprediksi memiliki cadangan migas senilai Rp7.112 triliun. Tiongkok diduga mengincar kawasan ini sebagai pemenuhan sumber energi dalam negeri yang terus meningkat.

Mengapa Indonesia menambah kapal perang di LCS?

Penambahan armada di Natuna dikerahkan setelah kapal Tiongkok dan AS terpantau beraktivitas di wilayah Laut Cina Selatan. Kapal milik AS dan Tiongkok melintasi wilayah perairan selatan Laut Cina Selatan dan menampakkan diri di Blok Tuna dekat kilang migas Natuna Sabtu (11/9) hingga Rabu (15/9). Selain itu, pada Senin (13/9), nelayan setempat menyaksikan 6 kapal Tiongkok di sekitar Natuna.

Hingga akhir November 2021, KRI yang ditugaskan di Natuna terdapat jenis kapal perusak kawal rudal (PKR) kelas sigma (KRI Diponegoro-365), kapal perang korvet kelas parchim (KRI Teuku Umar-385, KRI Silas Papare-386), dan kapal bantu cair minyak (KRI Bontang-907), yang merupakan kapal tanker pengisian ulang di laut dengan sistem senjata senapan mesin-meriam. Ada pula, KRI Multatuli-561, kapal perang yang sebenarnya bermarkas di Dermaga Ujung, Jawa Timur.

“(Sejauh ini) Tidak ada ketentuan pelayaran yang dilanggar”, ucap Jubir Badan Keamanan Laut (Bakamla), Wisnu Pramandita. “AIS (Automatic Identification System) kapal-kapal melintas menyala baik dapat dipantau. Tidak ada laporan gangguan, mungkin mereka melintas biasa”, lanjutnya.

Bagaimana posisi Indonesia dalam sengketa di LCS?

Menanggapi permasalahan ini, alih-alih ikut serta dalam persengketaan, Pemerintah Indonesia menyatakan hanya akan melakukan upaya-upaya dalam mempertahankan keutuhan wilayah, stabilitas kawasan, dan ekonomi nasional. “Tak ada kompromi dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia”, tegas Presiden Joko Widodo. Selain ancaman kedaulatan, per September-Oktober 2021, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) juga mencatat aktivitas illegal fishing kapal ikan Malaysia, Vietnam, dan Sri Lanka di Natuna.

Apa strategi Indonesia selanjutnya di LCS?

Dalam rapat koordinasi Pengelolaan Perbatasan Negara di kantor Bupati Natuna pada Selasa (23/11), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD turut memberikan keterangan mengenai kepentingan keutuhan wilayah terkait dan kekhawatiran klaim nine dash line di Laut Cina Selatan yang menyentuh yurisdiksi Indonesia. Ia menjelaskan bahwa konflik ini akan berdampak pada stabilitas keamanan Indonesia di Laut Natuna Utara. Sebagai strategi dalam menangani kekhawatiran tersebut, Mahfud juga mengatakan bahwa Indonesia akan melakukan beberapa upaya seperti meningkatkan kapabilitas militer Indonesia di Natuna, mengupayakan diplomasi preventif, mengembangkan manajemen perbatasan dan aktivitas di perairan, serta melaksanakan operasi militer yang diperlukan.