Rasisme dalam Spektrum Masyarakat Indonesia: Pengalaman, Kebenaran, dan Kesalahan

Saya terlahir sebagai manusia dengan privilese tinggi di Indonesia: laki-laki Jawa muslim dari keluarga menengah-atas. Sebagian besar hidup saya dilalui dengan menjadi kelompok mayoritas di antara teman-teman lain. Dengan berada dalam bagian kelompok mayoritas, saya menjadi tidak sadar akan keberadaan rasisme yang mengancam moralitas dan integrasi kita sebagai masyarakat Indonesia. Saya bahkan pernah menjadi seorang rasis yang memiliki stigma buruk terhadap kelompok tertentu. Tapi tenang saja, perjalanan selama SMA sampai berkuliah di UNPAR telah mengubah pemikiran itu.

Di saat yang bersamaan, saya menyadari bahwa rasisme di Indonesia bukan lagi hanya sekadar perilaku buruk seorang individu, tetapi telah menjadi permasalahan sistemik yang membuat kehidupan kita tidak sehat. Rasisme memiliki kontribusi besar terhadap ketidakadilan dan akses tidak merata dalam sistem kehidupan kita: baik dari segi pertemanan, pekerjaan, pendidikan, bahkan keluarga. Meski sekarang saya sangat menginginkan rasisme untuk menghilang, tetapi saya juga sadar dan percaya bahwa masalah ini sampai kapan pun akan tetap ada.

Rasisme secara tidak sadar telah ditanam oleh keluarga terdekat kita melalui candaan atau pun wejangan berdalih pengalaman. Mau tidak mau, kita harus menghadapi kenyataan bahwa satu-dua hal rasis telah melekat dalam keluarga masing-masing. Hal yang sudah tertanam sejak kecil pun tentu akan sulit untuk dilepaskan. Tidak banyak orang yang memiliki kesempatan dan pengalaman untuk bisa mengubah pemikiran mereka. Memutus rantai rasisme yang kuat tidak semudah berbohong kepada pasangan.

Sebagian besar pembaca mungkin sadar akan perilaku rasis orang terdekat mereka, namun yang menjadi pertanyaan adalah: apakah kalian berusaha mengubah mindset orang tersebut, atau hanya membiarkan dan memandang rendah mereka? Nyatanya, ada sedikit sekali orang yang benar-benar berani mengkonfrontasi dan mencoba memberi pengertian. Kebanyakan dari kita hanya diam dan mengeluh serta menyalahkan tanpa memberitahu apa yang benar. Saya pun juga begitu. Tulisan ini dapat dianggap sebagai langkah awal saya untuk menjadi berani. Meski susah, kita harus mencoba untuk memutus rantai rasisme.

Selain faktor konstruksi tersebut, bukankah memang sifat alamiah manusia adalah jahat? Setidaknya itu yang saya percaya. Rasisme sendiri memiliki akar kejahatan. Rasisme lahir dari sifat egois manusia yang merasa superior, hingga merendahkan kelompok lain yang dianggap tidak setara. Akan sangat sulit untuk manusia melawan sifat natural tersebut.

“Human nature is evil, and goodness is caused by intentional activity.”Xunzi

Manusia akan menimbulkan interaksi destruktif bila mengikuti sifat alamiahnya. Tapi sayang, tidak banyak orang bisa melawan hal tersebut dengan sedikit goodness. Lebih lagi, menurut Xunzi, manusia sebenarnya juga diberkahi oleh kemampuan berpikir untuk dapat membedakan baik/buruk dan benar/salah. Hanya saja, banyak dari kita yang masih malas mempertanyakan pikirannya sendiri. Padahal, seharusnya, kita harus terus berpikir untuk dapat menjadi diri yang lebih baik dari kemarin. Hal yang dilakukan kebanyakan manusia adalah menormalisasi tindakan buruk dengan justifikasi norma budaya serta kebiasaan. Dari situlah rasisme lahir.

Meski demikian, satu hal yang dapat kita lakukan adalah berjuang untuk mengurangi rasisme dengan tidak menjadi bagian dari perilaku sombong tersebut. Saya rasa untuk saat ini, menjadi tidak rasis saja belum cukup. Kita juga harus menjadi anti-rasis jika memang ingin melawan dan sebisa mungkin mengurangi rasisme. Kita harus bisa melawan sifat jahat diri sendiri. Kita harus bisa menyuarakan kebenaran. Kita harus bisa.

Tidak ada yang layak diperlakukan secara diskriminatif. Kirim tulisanmu sekarang, karena #YourStoriesMatter dan sekarang adalah #SaatnyaBerhenti.