Setelah sebelumnya tertunda, COP26 yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2020 akhirnya digelar pada 31 Oktober-12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia. COP26 yang dianggap sebagai konferensi iklim paling besar ini memperoleh banyak perhatian dari para aktivis lingkungan, terutama aktivis muda dari berbagai penjuru dunia. Para aktivis mengambil peran penting dengan berpidato di hadapan beberapa pemimpin negara, dan melakukan demonstrasi besar-besaran. “Ini adalah kehidupan saya, tentu tanggung jawab saya untuk turut mengambil peran” ucap Julia Horchos, mahasiswa berusia 20 tahun yang berkesempatan berbicara di konferensi tersebut.
Conference of the Parties (COP) merupakan konferensi tahunan yang diikuti oleh 197 negara penandatangan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun 1994. Sampai saat ini, salah satu COP yang berdampak signifikan adalah COP21 yang melahirkan Paris Agreement pada tahun 2015. Perjanjian tersebut menyepakati pembatasan pemanasan global sebatas 1.5°C. Untuk mencapai target ini, negara-negara terkait menetapkan Nationally Determined Contributions (NDC) sebagai dasar rencana dan strategi nasional yang akan dilakukan. Sejak terbentuknya Paris Agreement, dilaksanakan konferensi refleksi setiap 5 (lima) tahun sekali untuk mengevaluasi rencana dan eksekusi tindakan yang telah diambil negara.
Sebagai konferensi refleksi pertama, COP26 menjadi ajang bagi negara untuk menyampaikan upaya NDC yang telah dilaksanakan serta keberlanjutannya. Upaya tersebut dilakukan untuk mencapai Global Net Zero pada tahun 2050, dan menjaga kenaikan suhu sebatas 1.5°C sebagai target utama COP26 melalui mobilisasi finansial dan kerja sama antar negara, serta perlindungan komunitas yang terdampak langsung dari krisis iklim. Namun, target tersebut dinilai tidak efektif sehingga mengundang demonstrasi dari aktivis lingkungan yang terjadi di lokasi konferensi dan di seluruh dunia.
Pada hari terakhir COP26 (12/11), lebih dari 700 aktivis mengadakan People’s Plenary untuk melakukan protes mengenai pengambilan keputusan oleh negara terkait yang tidak merepresentasikan pandangan mereka. Para aktivis pun melakukan walk out dari COP26 sambil membawa pita merah sebagai tanda bahwa hasil diskusi COP26 tidak signifikan dan sudah melewati batas sehingga dipercaya tidak dapat mencapai target utama COP26.
Tidak hanya itu, lebih dari 200 demonstrasi dilakukan di berbagai kota di seluruh dunia. Massa yang berpartisipasi menunjukkan amarah dan kekecewaan mereka terhadap COP26 yang dianggap tidak adil terhadap komunitas dan negara berkembang yang merasakan efek perubahan iklim akibat aktivitas industri dari negara-negara maju. Patience Nabukalu, aktivis muda dari Uganda mengatakan bahwa COP26 terlalu fokus pada janji di masa depan, padahal dampak krisis iklim sudah terjadi saat ini.
Kini, aktivis terdorong untuk terus menyuarakan suara dan data dari para peneliti, serta berusaha terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang dapat efektif dan berkelanjutan. Bercermin dari kondisi bumi yang sudah mencapai peningkatan suhu sebanyak 1.1°C dan semakin sering mengalami kebakaran hutan dan banjir yang ekstrem, yang dibutuhkan saat ini adalah aksi serta implementasi, bukan janji atau rencana.