Rusia-Ukraina Semakin Memanas, UNHCR: Eksodus Terparah di Eropa Sejak 40 Tahun Terakhir

Warga sipil meninggalkan Ukraina akibat Invasi Rusia.
Sumber : Getty Images

Pada Senin (28/2), Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugee/UNHCR) merilis sebuah pernyataan kepada Dewan Keamanan PBB yang menyebutkan bahwa lebih dari 520.000 orang telah keluar meninggalkan Ukraina. Komisaris Tinggi UNHCR, Filippo Grandi, menyatakan pada CNN bahwa lebih dari 280.000 pengungsi telah melarikan diri ke Polandia, 94.000 lainnya ke Hungaria, hampir 40.000 saat ini berada di Moldova, 34.000 di Rumania, 30.000 di Slovakia, serta puluhan ribu pengungsi di negara Eropa lainnya. Berdasarkan laporan yang diterbitkan pada Jumat (25/2), UNHCR memperkirakan jumlah pengungsi akan mencapai angka lima juta jiwa. Alasan utama para pengungsi meninggalkan Ukraina adalah untuk mendapatkan perlindungan dan bantuan yang diperlukan di tengah konflik yang sedang terjadi. Menanggapi hal tersebut, Grandi membuka suara. “Saya telah bekerja dalam krisis pengungsi selama hampir 40 tahun dan jarang melihat eksodus orang yang sangat cepat–yang terbesar, tentu saja, di Eropa, sejak perang Balkan,” ujarnya kepada France 24 pada Senin (28/2).

Melonjaknya jumlah pengungsi Ukraina terjadi setelah pasukan Rusia meluncurkan “operasi militer khusus” terhadap Ukraina pada Kamis (24/2). Akibat operasi tersebut, situasi di dua kota besar Ukraina yakni Kyiv dan Kharkiv menjadi tidak aman. Hingga Senin (1/3), situasi masih belum membaik, terlebih dengan adanya konvoi kendaraan militer Rusia ke Kota Kyiv dan penyerangan terhadap bangunan-bangunan di Kota Kharkiv. Hal tersebut membuat masyarakat berbondong-bondong pergi mencari perlindungan ke stasiun metro dan ruang bawah tanah lainnya.

Menanggapi situasi genting tersebut, pemerintah Ukraina kemudian memberlakukan masa darurat militer dan aturan bahwa semua pria Ukraina berusia 18 hingga 60 tahun dilarang meninggalkan negara tersebut. Hal ini dikarenakan pria dalam kelompok usia tersebut dinilai dapat dijadikan cadangan pasukan pertahanan nasional apabila dibutuhkan. Sementara itu, perempuan dan anak-anak Ukraina yang tidak memiliki kewajiban untuk tinggal di Ukraina, lebih memilih untuk mengungsi dari pusat konflik.

Bantuan Masyarakat Internasional

Sebagai negara yang didatangi oleh mayoritas pengungsi, Polandia telah mendirikan sembilan pusat penerimaan di sepanjang perbatasan mereka untuk mengakomodasi para pengungsi. Dilansir dari Al Jazeera, Wakil Menteri Dalam Negeri Polandia, Pawel Szefernaker, menyebutkan bahwa 90% pengungsi yang memasuki Polandia telah memiliki tempat tujuan, seperti rumah teman atau keluarga, sedangkan 10% lainnya akan mencari bantuan di pusat penerimaan.

Di sisi lain, negara Eropa lainnya memberikan bantuan dalam bentuk peniadaan visa bagi masyarakat Ukraina yang ingin mengungsi ke negara mereka. Salah satu negara tersebut adalah Irlandia yang mengumumkan pada Jumat (25/2) bahwa mereka akan mencabut persyaratan visa bagi seluruh warga Ukraina yang ingin masuk ke negaranya. Meski begitu, berbeda dari mayoritas negara Eropa, Inggris masih memberlakukan kebijakan visa perjalanan bagi masyarakat Ukraina yang masuk ke wilayahnya.

Tidak hanya terbatas pada negara tetangga saja, organisasi internasional juga bergerak untuk membantu masyarakat Ukraina. Salah satunya adalah Palang Merah Ukraina, di bawah naungan Palang Merah Global, yang ikut turun tangan dengan mendistribusikan 30.000 paket makanan dan perlengkapan sanitasi bagi masyarakat yang masih berada di Ukraina. Mereka juga membantu mengevakuasi para penyandang disabilitas ke tempat yang lebih aman. Selain itu, edukasi pelatihan pertolongan pertama juga diberikan kepada 1.000 orang di stasiun metro dan pusat perlindungan lainnya sebagai bentuk antisipasi terhadap skenario terburuk. Di jalur perbatasan, Palang Merah Polandia juga telah siap untuk bekerja sama dengan Palang Merah Ukraina guna memberikan bantuan dalam krisis kemanusiaan ini. (AFN)