Pada bulan Oktober lalu, Pemimpin Agung Korea Utara, Kim Jong Un, dikabarkan mengeksekusi mati dua remaja berusia 16-17 tahun di depan khalayak publik. Kedua remaja tersebut dieksekusi setelah tertangkap membeli dan menyebarkan konten film dari Korea Selatan. Tidak hanya itu, kedua remaja tersebut juga menjual thumb drive hasil penyelundupan dari pasar lokal. Dilansir dari CNN Indonesia, kedua remaja awalnya tertangkap oleh mata-mata dan kemudian dilaporkan kepada pihak kepolisian. Keduanya ditindaklanjuti dengan proses eksekusi di Hyesan. Berdasarkan pernyataan dari Radio Free Asia (RFA), masyarakat bahkan diminta untuk datang dan menyaksikan proses eksekusi tersebut. Kim Jong Un juga memaksa warga lain yang tidak hadir secara langsung untuk melihat video eksekusi tersebut. “Penduduk Hyesan berkumpul di landasan udara, pihak berwenang menempatkan siswa remaja di depan umum, menghukum mati dan segera menembak mereka,” ungkap salah satu saksi yang hadir pada proses eksekusi Oktober lalu kepada RFA.
Tindakan Kim Jong Un ini didasari oleh Undang-Undang baru mengenai peraturan menonton drama Korea Selatan yang disahkan pada Desember 2020 lalu. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa pemerintah akan mengeksekusi siapapun yang mengunduh atau mengedarkan drama Korea Selatan, baik secara audio maupun visual. Adapun tindakan-tindakan ini dilakukan oleh Kim Jong Un untuk mengurangi pengaruh asing, terutama pengaruh Korea Selatan. Kim Jong Un juga menganggap bahwa menonton drama Korea Selatan sama saja dengan mengkhianati Korea Utara. “Mereka yang menonton atau mendistribusikan film dan drama Korea Selatan, dan mereka yang mengganggu ketertiban sosial, tidak akan diampuni dan akan dihukum hukuman mati maksimum,” ungkap salah satu warga lainnya yang menyaksikan proses eksekusi kepada RFA dalam wawancara pada Jumat (2/12) lalu.
Dikutip dari CNBC Indonesia, eksekusi di hadapan publik jarang terjadi di Korea Utara. Pihak berwenang biasanya menggunakan eksekusi hanya untuk menakut-nakuti masyarakat agar berperilaku seperti apa yang diinginkan oleh otoritas. Pada awalnya, pemerintah hanya akan menyita smartphone dan memberikan hukuman penjara kepada pelanggar. Lalu, hukuman mengalami perkembangan dan pelanggar akan dikirim ke pusat tenaga kerja disiplin. Jika tertangkap lagi, maka pelanggar tersebut akan dikirim ke pusat tenaga kerja paksa selama lima tahun bersama dengan orang tua mereka. Namun, kali ini otoritas bersikap lebih keras terhadap kejahatan yang melibatkan media asing, yaitu dengan hukuman eksekusi mati. “Semakin sulit masanya, semakin keras peraturan dan undang-undangnya,” tegas Choi Jong-Hoon, seorang pembelot yang berhasil keluar dari Korea Utara dalam wawancaranya dengan BBC News pada Jumat (2/12).
Di samping memperkeras hukuman bagi pelanggar, pemerintah juga mengedarkan berita dan video eksekusi tersebut kepada masyarakatnya. Hal ini dilakukan untuk menimbulkan ketakutan yang lebih mendalam bagi masyarakat. “Meskipun ada kontrol intensif dan tindakan keras untuk memberantas pemikiran dan budaya reaksioner, anak muda masih tertangkap diam-diam menonton film Korea Selatan. Jadi sekarang pihak berwenang memulai teror melalui eksekusi publik,” jelas salah seorang warga saat diwawancarai oleh RFA pada Jumat (2/12). Dilansir dari CNN, masyarakat juga berasumsi bahwa peluang teror publik dan hukuman mati akan meningkat pasca peristiwa ini.