Seniman Berbudaya: Merayakan Arti Kebebasan

Sumber: Affandi/Desain Grafis Indonesia

Setiap tahun, dalam rangka mensyukuri kemerdekaan karena berhasil bebas dari segala bentuk penindasan dan penjajahan, kita disuguhi berbagai perayaan dan kegiatan yang bersifat simbolik. Tentunya, itu semua tidak akan terjadi tanpa adanya jasa dari para pendiri bangsa dan para pahlawan.

Bagi mereka yang melakukan perundingan di meja diplomasi maupun bergerilya di medan tempur, kemerdekaan tentu menjadi peristiwa penting yang membekas di ingatan. Kemerdekaan yang diraih kemudian menjadi pijakan untuk menuju lembaran baru menjalani hidup yang penuh dengan kebebasan. Tetapi, pernahkah sejenak terpikirkan oleh KawanWH bagaimana kisah dari para seniman Indonesia, terutama dalam mengekspresikan arti kemerdekaan yang turut menginspirasi karya-karyanya?

Para seniman, alias mereka yang menggeluti dunia seni turut mewarnai perjalanan perjuangan bangsa dan turut serta mengaktualisasikan kemerdekaan melalui karyanya. Ketika gaung proklamasi telah terdengar ke seluruh pelosok Nusantara, maka pada saat itu juga dimulailah era baru dimana kebebasan dituangkan pada berbagai karya seperti sajak, lukisan, hingga perfilman. Dilanda perasaan dan semangat yang baru, para seniman senantiasa mempersembahkan berbagai karya untuk menginspirasi berbagai kalangan untuk merasakan hal yang sama. Dibantu dengan budaya dan kebebasan, keduanya lalu diselaraskan untuk bisa menciptakan karya barunya.

Dari dunia sastra, seorang Chairil Anwar sebagai pujangga menghasilkan sejumlah puisi yang menyiratkan pesan kebebasan sebagai insan yang telah merdeka. Hal tersebut turut tercermin dalam gaya penulisannya yang bebas dari tolok ukur aturan baku tata bahasa kebiasaan sastrawan pada masanya yang membuat dirinya melampaui zaman. Semasa hidupnya, tercatat ia telah menuliskan 70 buah sajak.

Hidup dalam masa revolusi tentu mempengaruhi caranya menuliskan barisan sajak. Lihat bagaimana Chairil Anwar menggambarkan nasionalisme Indonesia melalui sajak “Persetujuan Dengan Bung Karno”. Suasana negeri yang baru “seumur jagung” merdeka itu tentu membuat seluruh masyarakat yang berada di dalamnya merasa bergelora, mencoba memahami kebebasan yang mereka raih setelah sekian lamanya berjuang melawan kolonialisme.

Selain mengapresiasi kebebasan, salah satu sajaknya yang berjudul “Cerita buat Dien Tamaela” menggambarkan dengan jelas bagaimana Chairil terpukau oleh budaya Maluku. Ketika membacanya, kita seolah dibawa pada sebuah pulau yang memiliki kekayaan berlimpah dan diselimuti legenda mistis mengenai “Datu” alias sosok penjaga yang tidak akan membiarkan seorang pun berani mengganggu penghuninya alias “beta-beta” nya. Keberadaanya sebagai penjaga masyarakat Maluku dipercaya dapat menjaga keharmonisan pulau itu.

Dari dunia lukis, ketika kemerdekaan diproklamasikan, banyak pelukis turut ambil bagian dalam menyuarakannya. Terutama dalam bentuk lukisan ataupun mural di tembok serta gerbong kereta dengan berbagai semboyan pekik perjuangan yang digagas oleh Tan Malaka. Serupa halnya dengan Affandi yang mendapat titah dari Bung Karno untuk membuat poster perjuangan yang bertujuan untuk menekankan semangat kemerdekaan dan kemudian dikerjakan bersama dengan Chairil Anwar yang mencetuskan kalimat “Boeng Ajo Boeng”. Walaupun terkesan tidak lumrah dan menggelitik

karena terinspirasi dari kalimat yang digunakan oleh pekerja seks komersial (PSK) di masa itu, tak disangka Affandi merasa kalimat tersebut sesuai dengan visi posternya.

Perubahan era tidak menghentikan para seniman untuk berkarya. Alih-alih tetap berpegang kuat ke karya yang berbau kemerdekaan, para seniman bergerak untuk menghasilkan karya melalui pendekatan yang lebih familiar. Pada era Orde Baru, terdapat seniman yang menempatkan diri di tengah realitas sosial dan budaya di masyarakat dengan menghasilkan karya berupa film.

Sjuman Djaya sebagai seniman berhasil mewujudkan visinya dengan memilih film sebagai bagian dari identitasnya untuk mengekspresikan tindakan dan perilaku dunia seni. Topik yang diangkat pun mengenai kehidupan orang-orang biasa yang relevan untuk penontonnya. Kerap memasukan unsur budaya dalam karya ciptaan nya, membuat namanya melegenda hingga hari ini.

Sepulangnya dari Institut Sinematografi Negara di Moskow, asa Sjuman Djaya untuk membuat film bertemakan masyarakat dan budaya yang ada di dalamnya semakin menggebu-gebu. Beberapa diantaranya seperti “Si Doel Anak Betawi dan Si Mamad” (1973) dan “Kartini” (1982) dapat menggambarkan dengan jelas kisah rakyat Betawi yang hidup pada masa itu.

Budaya kental yang dituangkan ke dalam karya seni, membuat tidak semua masyarakat mengerti pengekspresian sang seniman. Walaupun begitu, kebebasan yang dirasakan terlebih dahulu oleh para seniman, menghapus limitasi yang membuat karya seni tersebut tidak lalu mati dan terlupakan.

KawanWH dapat melihat cerita dari para seniman sebagai sebuah persamaan. Bahwa hasil seni mereka dipengaruhi pada apa yang seniman alami dan rasakan. Chairil, Affandi dan Sjuman Djaya memberikan representasinya melalui sajak, lukisan dan film. Hidup tanpa kekangan melahirkan karya, hidup bebas di tengah masyarakat berbudaya menghasilkan sebuah karya. Dengan cara itu, mereka juga turut merayakan kemerdekaan negaranya melalui kesenian.