Diplomat dan MUN telah menjadi stereotip yang melekat pada mahasiswa Hubungan Internasional. Tak terkecuali bagi Sharon Margriet Sumolang, seorang alumni HI yang pernah bermimpi akan menjadi diplomat. Ia bahkan sempat menjadi delegasi dari Universitas Katolik Parahyangan untuk Harvard National Model United Nations (HNMUN). Namun siapa sangka, Sharon malah jadi sadar bahwa MUN bukanlah untuknya.
Awalnya, Sharon mencoba MUN karena termakan oleh pernyataan “HI masa nggak MUN?” Ia pun tergerak untuk mendaftar salah satu MUN paling bergengsi. “Aku menantang diriku untuk MUN, bahkan sampai HNMUN. Tapi memang, I don’t belong there. Memang tidak bisa dipaksakan, se-prestigious apapun itu,” ujarnya. Ia menyadari kalau MUN tidak sesuai dengan kepribadiannya. Sehingga, berdasarkan pengalamannya, ia menyadari bahwa stereotip itu tidak selalu benar.
Menurutnya, mahasiswa HI begitu beragam. Ia percaya stereotip “Anak HI harus MUN” berlaku bagi mahasiswa semester awal, namun seiring berjalannya waktu, peluang bagi mahasiswa HI semakin terbuka. “Di awal perkuliahan, aku belum tau prospek kerja akan menjadi apa. Diplomat? Kedutaan? Hanya itu aja. Tapi ternyata ada banyak pilihan: konsultan, jurnalis, bahkan dosen.”
Seperti mendobrak stereotip, Sharon memutuskan untuk menjadi jurnalis setelah melewati kejadian yang cukup pahit, namun berbuah manis. Ia bercerita bagaimana ia telah mendaftarkan diri di sembilan tempat magang, namun tidak satupun menerimanya. Sebuah mimpi buruk, karena apabila ia tidak mendapatkan tempat magang, ia akan menerima nilai D. Namun, mimpi buruknya berbuah manis. Ia diterima magang di Mata Najwa, salah satu tayangan televisi yang ia sukai. Ia beruntung akhirnya menemukan skill, potensi dan passion di bidang tersebut. “Setelah aku menjalani profesi sebagai jurnalis, bukan hanya pengetahuanku yang bertambah. Tapi, secara pribadi, aku juga tumbuh.”
Bagi Sharon, ada berbagai keuntungan yang dimiliki mahasiswa HI apabila kelak hendak bekerja sebagai jurnalis. Selama berkuliah, mahasiswa HI terbiasa untuk membaca literatur dan berita dalam Bahasa Inggris, sehingga membuat liputan internasional tidak menjadi masalah. Hal ini turut didukung oleh pengetahuan mahasiswa HI soal politik, ekonomi hingga kebudayaan dan kemampuan mengatasi deadline. “Karena kita, anak HI, mau dikasih waktu 100 tahun, kita akan mengerjakannya H-1. Buat aku sebagai jurnalis, menjadi deadliner sesungguhnya membantu untuk survive,” lanjutnya.
Namun, Sharon menganggap menjadi lulusan Ilmu HI tidak selalu mudah. Lulusan HI sering dikenal dengan istilah “Jack of all trades, master of none,” karena kemampuannya untuk mengerti banyak hal, namun tidak mendalami satu bidang ilmu secara spesifik. Ia merasa ada tantangan tersendiri baginya untuk mengimbangi para master of one, atau orang yang sangat menguasai bidang ilmu tertentu. Ia beranggapan, terkadang mahasiswa HI terlihat meyakinkan dan pintar hanya terlihat dari luar saja. Kebanyakan dari mereka tidak mendalami ilmunya, menjadikan mereka tertatih-tatih. “Yang harus di-develop adalah research dan critical skill. Dua hal itu sangat penting bagi jurnalis. Tak terkecuali orang-orang di konsultan dan CPNS,” katanya sambil mengingatkan.
“Aku sempat melewati masa-masa itu,” ia mencurahkan hatinya. “Liputan pertamaku tentang pengungsi. Itu ‘kan isu global, isu aku harusnya! Tapi, sudah digabungkan dengan humanitarian law dan sebagainya. Sedangkan ilmuku tentang hukum tidak begitu dalam, karena terbiasa ilmu nyomot-nyomot.” tambahnya. “Suatu hari, pemredku bilang ke aku, ‘Sharon! Mana ilmu HI-nya? Ini nggak keliatan nih di liputan kamu kalau kamu anak HI!’ Wah, di situ aku tertampar!” ujarnya sambil tertawa.
“Aku malu banget. Jadi kalau boleh berpesan ke adik-adik yang masuk ke HI, kalian terserah mau pesta, pacaran. Tapi kalau di kelas, pastikan itu ilmu tidak keluar dari telinga.” Selain itu, menurutnya kemampuan membaca sangat penting bagi mahasiswa HI. Sebab, mahasiswa HI harus meningkatkan usaha dan kegigihan untuk belajar sehingga tidak tertinggal.
Sharon menyelesaikan pendidikan sarjana dalam waktu 3,5 tahun. Sebuah visi yang ia tanamkan sejak pertama kali menduduki bangku perkuliahan, sebab ada mimpi yang ingin ia kejar: menjadi Miss Indonesia. “Mama aku itu tiger mom. Aku harus lulus 3,5 tahun, itu syarat agar aku bisa daftar Miss Indonesia.”
2nd Runner Up Miss Indonesia 2019 ini bercerita bahwa baginya, berbicara di hadapan juri bukanlah suatu hal yang sulit. Sebab, selama menjadi mahasiswa, ia terbiasa untuk berpresentasi di kelas. Menurutnya, kemampuan mahasiswa HI yang persuasif dan percaya diri sangat membantu ketika public speaking. Ia menekankan, untuk menjadi Miss Indonesia, ia harus memiliki wawasan yang luas. “Miss Indonesia banyak membahas bagaimana menghubungkan isu sosial dengan program PBB. Itu udah ngelotok di otak aku, jadi aku bisa membantu kontestan lain untuk sama-sama belajar.”
Sharon mengakhiri dengan berpesan,
“Kita harus bisa mendobrak stigma-stigma perempuan cuma bisa cantik doang. Mau nanti ujungnya aku jadi ibu rumah tangga, aku tidak menyesal menjadi anak HI dan HI Unpar. Aku akan menjadi ibu dengan wawasan luas, itu sangat penting. Paling susah bukan membuktikan ke orang tua, dosen atau teman. Tapi ke diri kalian sendiri. Karena kalau kalian gagal, kalian malunya sama diri sendiri. Jadi berjanjilah sama diri sendiri dan jangan lupa berdoa.”