Ribuan pengemudi truk menggelar demonstrasi secara ilegal di ibu kota Kanada, Ottawa, pada hari Senin (28/1) melalui gerakan ‘Freedom Convoy’ dengan memarkir truk-truk mereka di jalanan dan di depan gedung parlemen. Gerakan itu dipicu oleh mandat Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, terkait persyaratan vaksinasi COVID-19 dan karantina dua minggu bagi para pengemudi truk yang ingin melintasi perbatasan Amerika Serikat (AS). Aksi ini telah menarik dukungan dari ribuan warga Kanada lainnya yang mengatakan mereka ingin semua tindakan pencegahan COVID-19, seperti mandat masker dan lockdown, dibatalkan. Sekitar 500 truk diperkirakan berkumpul di pusat kota Ottawa selama tiga minggu dan memblokir akses jembatan perbatasan Kanada-AS, tepatnya di Ambassador Bridge. Jembatan yang merupakan penghubung 30% perdagangan penting antara Kanada-AS tersebut ditutup sementara hingga mengakibatkan pukulan ekonomi bagi kedua negara.
Banyak warga Ottawa yang keberatan dengan demonstrasi tersebut, lantaran perilaku para demonstran semakin tidak terkendali, seperti membunyikan klakson dan sirene, serta menyalakan kembang api. Melalui pernyataan resminya pada Minggu (6/2), kepolisian Ottawa mengatakan sudah ada lebih dari 60 kasus kriminal yang tengah diinvestigasi, terutama untuk ujaran kebencian dan kerusakan properti.
Dilansir dari CNN, Walikota Ottawa, Jim Watson, mengumumkan keadaan darurat sebagai tanggapan atas demonstrasi yang mulai mengancam keselamatan warga. “Ini benar-benar tidak dapat diterima – terutama ketika beberapa demonstran bepergian ke restoran dan menolak memakai masker, melecehkan staf, dan benar-benar bersikap agresif terhadap penduduk kota kami,” ujar Watson kepada wartawan CNN pada Sabtu (12/2).
Setelah kerumunan demonstran kembali melonjak menjadi sekitar 4.000 orang pada Sabtu (12/2) lalu, polisi di Windsor mulai menangkap lebih dari 30 pengunjuk rasa, menyita 5 kendaraan, dan menderek 7 kendaraan. Dilansir dari AP News, juru bicara pemilik Detroit International Bridge Co. mengonfirmasi bahwa Kanada mulai membuka kembali Ambassador Bridge pada Minggu (13/2) malam.
Dilansir dari Channel News Asia, Trudeau menerapkan Undang-Undang Darurat 1988, yang memberi wewenang bagi pemerintah federal dalam menerapkan langkah-langkah khusus untuk sementara waktu guna memastikan keamanan dalam keadaan terkendali selama masa darurat nasional. “Pemerintah federal telah meminta Undang-Undang Darurat untuk melengkapi kapasitas provinsi dan teritorial untuk mengatasi blokade. Aksi-aksi blokade ini merugikan ekonomi kita dan membahayakan keselamatan masyarakat. Kita tidak bisa dan tidak akan membiarkan aksi-aksi ilegal yang berbahaya terus berlangsung,” tegas Trudeau saat konferensi pers pada Senin (14/2).
Tidak Hanya di Kanada, ‘Freedom Convoy’ Mulai Mendunia
Gerakan warga Kanada ini telah menginspirasi demonstrasi serupa untuk menuntut diakhirinya pembatasan COVID-19 di beberapa wilayah lain seperti Prancis, Selandia Baru, New York, dan Australia. Dilansir dari Washington Post, sekitar 32.000 warga Prancis mengikuti aksi ‘Freedom Convoy’. Mereka melakukan konvoi menggunakan mobil pribadinya dan memblokir Champs-Élysées, kawasan pusat di Paris pada Sabtu (12/2) lalu. Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, mengumumkan dalam akun Twitter miliknya bahwa ada 54 orang yang ditangkap, serta 337 orang lainnya didenda sebagai akibat dari aksi protes tersebut.
Konvoi kendaraan juga memadati jalanan dan luar gedung Parlemen Selandia Baru di Wellington. Lamanya durasi pembatasan, termasuk isolasi minimal 10 hari dan wajib vaksin, telah menumbuhkan kemarahan masyarakat. Tak tinggal diam, para pejabat telah berupaya untuk membubarkan demonstran dengan cara yang unik. Alih-alih menggunakan kekerasan, mereka memutar berbagai lagu seperti “Baby Shark”, “Let It Go”, dan “My Heart Will Go On” untuk mengundang amarah para demonstran. Sementara itu, demonstran dari AS juga berencana melaksanakan “Convoy 4 Freedom 2022”, berangkat dari Coachella Valley pada awal Maret menuju Washington, D.C.
Pihak pemerintah dan kepolisian di berbagai negara tersebut telah memperingatkan para demonstran tentang konsekuensi mulai dari denda, pencabutan SIM, hingga hukuman penjara. Meskipun begitu, mereka mengaku akan tetap melakukan aksi ini hingga persyaratan vaksin dan berbagai aturan terkait COVID-19 dihapuskan. (NA)