
Sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dengan Tiongkok kembali mendapat perhatian beberapa hari terakhir ini. Pada Senin (13/9), beberapa nelayan mengaku melihat adanya kapal perang Tiongkok di perairan Laut Natuna. Hal ini diperkuat dengan beredarnya beberapa video yang diambil oleh para nelayan, salah satunya adalah video yang diunggah oleh Harian Kompas. Dalam video tersebut, dapat terlihat sebuah kapal berwarna putih yang diduga sebagai kapal destroyer milik Tiongkok yakni Kapal Kunming-172.
Kedatangan kapal perang Tiongkok membuat para nelayan khawatir, terlebih dengan adanya eskalasi sengketa di perairan tersebut beberapa tahun terakhir. Namun, mengapa perairan Natuna menjadi wilayah sengketa padahal perairan tersebut berada dalam teritori Indonesia. Berikut adalah fakta penting yang perlu KawanWH tahu seputar sengketa Laut Natuna Utara:
Apa yang sebenarnya terjadi di Laut Natuna Utara?
Pada dasarnya, sengketa Laut Natuna Utara merupakan bagian dari sengketa Laut Cina Selatan yang melibatkan Tiongkok dengan beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia. Sengketa ini dimulai dengan klaim Tiongkok atas sebagian besar wilayah di Laut Cina Selatan dengan dasar alasan historis pada tahun 1947. Sengketa ini terus berlanjut dan mengalami eskalasi pada tahun 1995 setelah Tiongkok mengibarkan benderanya di Mischief Reef, sebuah wilayah di Laut Cina Selatan yang juga diklaim oleh Filipina.
Tidak berhenti pada tahun 1995, sengketa kembali mengalami eskalasi saat Filipina membawa sengketa ini ke Pengadilan Tetap Arbitrase Den Haag pada tahun 2016. Dalam pengadilan ini, klaim historis Tiongkok atas Laut Cina Selatan tidak sah dan tidak sesuai dengan UNCLOS.
Mengapa Indonesia dan Laut Natuna terbawa dalam sengketa Laut Cina Selatan?
Indonesia mulai terlibat dalam sengketa Laut Cina Selatan akibat klaim Tiongkok atas Laut Natuna Utara dengan dalih ‘Nine Dash Line’ pada tahun 2009. Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus adalah garis imajiner yang menjadi dasar bagi Tiongkok untuk mengklaim beberapa wilayah di Laut Cina Selatan dan sekitarnya, termasuk Laut Natuna Utara. Klaim Tiongkok atas perairan tersebut ditolak tegas oleh Indonesia. Pasalnya, Laut Natuna merupakan perairan sah di bawah kedaulatan Indonesia berdasarkan hukum yang berlaku, yakni UNCLOS.
Meskipun demikian, sengketa tersebut tidak berakhir dan terus mengalami eskalasi. Peristiwa masuknya kapal Tiongkok ke perairan Indonesia bukanlah sebuah hal yang baru karena telah terjadi beberapa kali dalam beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 2019 dan 2020, Indonesia melakukan konfrontasi terhadap Tiongkok dengan adanya pelanggaran ZEE di Laut Natuna yaitu penangkapan ikan ilegal dan masuknya kapal penjaga pantai Tiongkok di perairan tersebut.
Bagaimana tanggapan Indonesia terhadap situasi di Natuna saat ini?
Menanggapi masuknya kapal perang Tiongkok di perairan Natuna, Laksamana Madya Aan Kurnia sebagai kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) memberikan klarifikasi kepada media. Dilansir dari Tempo, Aan mengatakan bahwa situasi di Laut Natuna Utara sudah aman terkendali dan para nelayan dapat kembali berlayar tanpa rasa takut. Meskipun demikian, Aan juga menambahkan bahwa Bakamla akan tetap melakukan pengawasan dan pengamanan di perairan Natuna bersama dengan pihak lain.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Sakti Wahyu Trenggono, juga ikut menanggapi peristiwa ini. Dalam pertemuan media pada Selasa (21/9), Trenggono mengatakan bahwa pemerintah akan melakukan pengawasan selama 24 jam penuh melalui satelit, darat, dan laut bersama dengan TNI AL dan Bakamla di perairan Natuna.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Peristiwa masuknya kapal Tiongkok ke perairan Natuna sudah diprediksi akan kembali terjadi oleh beberapa pengamat, salah satunya adalah Dr. Ian Storey, seorang peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute. Dilansir dari BBC, Storey mengatakan bahwa peristiwa tersebut pasti akan kembali terjadi dan yang dapat Indonesia lakukan adalah mengirimkan protes kepada Tiongkok untuk menegaskan kedaulatan Indonesia atas Laut Natuna serta mendorong pembentukan Code of Conduct (CoC).
Sejalan dengan rekomendasi Storey, Kementerian Luar Negeri Indonesia juga memilih untuk berfokus pada melakukan perundingan dan membentuk Code of Conduct (CoC) dengan Tiongkok dan negara ASEAN lainnya. “Fokus kami sekarang adalah penyelesaian Code of Conduct antara Tiongkok dengan ASEAN agar ada sebuah aturan yang mengelola tata perilaku negara-negara dalam masalah Laut Cina Selatan ini,” ucap Teuku Faizasyah, juru bicara Kemenlu, dalam wawancaranya bersama BBC Indonesia. (ZN)