KawanWH, apakah pertanyaan seperti “kapan lulus?”, “kok belum punya pacar?”, dan “loh, gendutan ya?” sering terdengar saat sedang kumpul keluarga di hari raya? Momen hari raya yang selalu menjadi penantian banyak orang sayangnya tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan yang kadang kala membuat risih. Banyak orang berpikir bahwa untuk mencapai kehidupan yang ‘ideal’, harus lulus di waktu tertentu, bekerja di tempat tertentu, bahkan memiliki penampilan tertentu. Namun, realitanya tidak mungkin kehidupan setiap individu berjalan dengan timeline dan standar yang sama persis dengan orang-orang di sekitarnya.
Untuk beberapa dari mereka yang kehidupannya tidak berjalan semulus harapan keluarganya, hari yang seharusnya penuh euforia menjadi ajang yang melelahkan. Harus memaksakan senyuman, dan menyiapkan jawaban yang sudah dikurasi sedemikian rupa agar bisa memuaskan para kerabat. Namun, setidaknya bisa disyukuri bahwa kini sudah ada media sosial, yang bisa menjadi ruang untuk ‘kabur’ dari hiruk pikuk hari raya.
Pada pekan libur Lebaran 2022 minggu kemarin, media sosial ramai dengan curhatan-curhatan mereka yang stuck di antara sanak saudara yang berlomba-lomba membandingkan prestasi mereka, sambil dihadang dengan pertanyaan kerabat yang memiliki segudang ekspektasi tinggi. Beberapa user Twitter mencuit mengenai bagaimana untuk mereka, Lebaran bukan perayaan yang mereka nikmati, dan tradisi mudik serta bermacet-macetan demi berkunjung ke saudara terasa seperti tantangan yang berat, bukannya sebuah momen perayaan. Lebih dari itu, banyak juga keluh kesah akan keluarga yang justru berkomentar buruk mengenai tubuh atau body shaming, dan bahkan ada perseteruan fisik di hari yang seharusnya menjadi ajang saling memaafkan.
Di sebuah akun auto-base Twitter, ada cuitan dengan gambar yang bertuliskan “Ceritakan hal yang paling tidak kamu sukai dari Lebaran.” Lebih dari 10 ribu akun menanggapi cuitan tersebut dan banyak di antaranya mengeluhkan basa-basi serta pertanyaan yang tidak mengenakkan dari kerabat yang kurang dikenal. Ada juga yang memprotes keluarga yang judgemental serta om atau tante yang saling mengadu prestasi anak-anaknya.
Tentu, pertanyaan dan komentar nyinyir dari kerabat pada hari yang hakikatnya adalah waktu untuk saling memaafkan rasanya meresahkan. Terlebih lagi, kalau pertanyaan dan komentar itu tidak relevan dengan gaya hidup yang dijalani. Komentar seperti “Kamu ikut CPNS saja,” di saat seseorang sudah sukses bekerja di perusahaan startup atau “ibunya kok kerja, masa anaknya ditinggal-tinggal di rumah,” padahal suaminya sudah sepakat untuk tinggal di rumah dan menjadi stay-at-home dad. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa komentar dan pertanyaan seperti ini sebenarnya tidak selalu berasal dari pemikiran yang negatif, tetapi justru muncul karena adanya sekat antargenerasi. Setiap generasi memiliki pengalaman dan kesulitan yang berbeda, dan terkadang gaya hidup orang tua masih berpedoman pada pengalaman dan kesulitan yang dulu dialaminya. Tanpa memerhatikan perubahan zaman, orang tua sering kali merekomendasikan apa yang dulu merupakan pilihan paling ideal di masa mereka kepada generasi yang lebih muda.
Dulu, krisis moneter membuat pekerjaan di perusahaan sektor swasta terasa riskan ketimbang menjadi PNS yang cenderung stabil gaji dan tunjangannya. Paham tradisional seperti “seorang ibu itu tugasnya cukup di dapur, sumur, dan kasur,” juga membuat orang tua berpikir bahwa seorang ibu mungkin akan kewalahan jika harus bekerja sambil mengurus anak. Maka, pilihan anak muda untuk bekerja di startup atau menjadikan ibu sebagai tulang punggung keluarga pasti menjadi kecemasan banyak orang tua karena pada zaman mereka, kondisinya belum mengakomodasi pilihan tersebut. Dengan begitu, mungkin sebagian dari pertanyaan dan komentar ikut campur sebenarnya hanya upaya untuk memedulikan dan melindungi generasi selanjutnya. Barangkali, dengan ikut campur, mereka hanya berusaha melontarkan rasa kasih sayang yang tidak biasanya disampaikan dengan eksplisit. Segala harapan mereka terhadap generasi muda untuk menjalani “hidup ideal” mereka sampaikan dengan maksud agar mereka tidak perlu melewati masalah yang dahulu terjadi di masanya dan bisa hidup dengan lebih nyaman.
Walaupun terkadang Lebaran dan segala ocehan keluarga cenderung melelahkan, barangkali kelelahan itu bisa sedikit terobati jika upaya ‘ikut campur’-nya keluarga sekali-kali dilihat sebagai bentuk kasih sayang, bukannya nyinyiran semata.