Cantik. Setiap orang memiliki cara berbeda untuk mendefinisikan “cantik” di mata mereka. Entah sebagai perempuan berkulit putih, berambut lurus dengan kaki jenjang dan badan tinggi-kurus semampai. Atau mungkin sebagai perempuan berkulit eksotis dengan rambut bergelombang dan badan sedikit berisi. Namun, bagaimana jika kita bukan keduanya?
Tanpa disadari, hingga saat ini kita seringkali masih terjebak dalam isu rasial. Mungkin bukan lagi diskriminasi lewat cara pengekangan atau kekerasan. Namun, kita secara tidak langsung mendiskreditkan kelompok tertentu lewat stereotip-stereotip yang kita ciptakan sebagai suatu kondisi ideal di tengah masyarakat.
Setidaknya kondisi itulah yang digambarkan oleh kebanyakan iklan tentang “cantik” yang ideal dan “cantik” yang seharusnya. Iklan Dove untuk kampanye produk bodywash terbarunya pada jejaring Facebook, misalnya. Dalam iklan tersebut, digambarkan seorang model keturunan Nigeria yang terus berganti pakaian dari warna gelap menuju terang seiring menggunakan produk tersebut. Tak lama setelah iklan tersebut diunggah, publik langsung melayangkan tuntutan agar iklan itu diturunkan karena dianggap mengandung unsur rasisme.
Jika dilihat dari sudut pandang pihak produksi, iklan tersebut semata-mata dibuat untuk mempromosikan keunggulan produk terbarunya yang bisa memutihkan kulit dalam waktu sekejap. Sekali lagi, tanpa niatan untuk menetapkan kulit putih sebagai standar kecantikan. Namun tetap saja, publik merasa keberatan karena iklan tersebut dianggap menyinggung kelompok ras berkulit gelap lewat transformasi warna baju (yang menggambarkan warna kulit) yang disajikan.
Sebenarnya permasalahan iklan di atas menggambarkan bahwa hingga saat ini publik masih sangat sensitif tentang isu rasial di tengah masyarakat. Tak sedikit, antarkelompok saling menutup diri agar tidak bersinggungan dengan kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Sikap eksklusif inilah yang berpotensi menciptakan perpecahan dan membuat jarak di antara mereka semakin sulit untuk dipersatukan.
Namun, apa yang sudah terjadi biarkanlah menjadi kenangan dan pelajaran. Kini yang terpenting adalah bagaimana sikap kita untuk menanggapi isu rasial tersebut. Berangkat dari kesadaran akan pluralitas, kita perlu lebih berhati-hati dalam melahirkan stereotip-stereotip yang dapat menyinggung golongan tertentu. Sebab stereotip yang berangsur-angsur disebarkan dan digeneralisasikan dapat membentuk paradigma yang salah di tengah masyarakat, seperti konsep cantik yang telah dibahas sebelumnya.
Pada akhirnya, berakhir atau tidaknya isu rasial ada di tangan kita. Tak ada konsep ideal, jika stereotip tidak pernah lahir. Tak ada konsep superior, jika kita semua merasa sama tanpa ada faktor pembeda.