“Jangan lupa nanti sore les, ya”
“Kok nilai kamu cuma segini, sih? Biasanya bisa lebih?”
KawanWH familiar tidak sama kalimat di atas? Apakah KawanWH bahkan pernah mendengarnya dari orang tua?
Tidak sedikit orang tua beranggapan jika anak bisa menguasai banyak bidang, anak akan menjadi sukses. Segala upaya dikerahkan untuk membuat si anak menguasai berbagai mata pelajaran, meskipun dengan belajar dan latihan yang tidak berkesudahan. Anak dituntut untuk bisa menjadi “sempurna” agar menjadi orang sukses. Pola asuh seperti ini dikenal dengan nama ‘tiger parenting’. Tiger parenting adalah pola asuh di mana orang tua menggunakan otoritas mereka untuk membuat anak mencapai harapan yang orang tua dambakan.
Tiger parenting dinilai tidaklah umum di kalangan pengasuhan sekitar lingkungan Amy Chua tinggal di Amerika-Barat. Amy Chua adalah seorang Profesor Hukum Yale Law School mengenalkan istilah ‘tiger parenting’ untuk menggambarkan gaya pengasuhan dalam membesarkan anak-anaknya, yang terbit dalam buku berjudul “Battle Hymn of the Tiger Mother” tahun 2011. Kalimat-kalimat kontroversial sedikit banyak menginspirasi para orang tua akan tiger parenting karena ia telah membuktikan bagaimana ia membuat anak-anaknya ‘berhasil’. Chua menekankan pengasuhan yang fokus pada prestasi akademik dan musik serta mengesampingkan kebahagiaan dan harga diri anak-anaknya.
Tiger parenting semakin lekat dengan stereotip para orang tua Tionghoa-Asia (Chinese-Asian parents) yang disebut ‘tiger parents’. Mengapa bisa demikian? Chua mengaitkan gaya asuh ini dengan latar belakang dirinya yang berketurunan Tionghoa-Amerika yang dahulu mendapatkan pola asuh ‘otoriter’ ayahnya. Semasa kecil, Chua mendapati tuntutan kedisiplinan dan larangan yang dirasa berhasil membawanya sukses. Dilansir dari tulisannya di The Wall Street Journal pada 2011, gaya otoriter ayahnya diterapkan kembali oleh Chua. Saat ia menyebut anaknya “sampah”, Chua sama sekali tidak menyesal atau meminta maaf kepada anaknya. Tetapi, menurut studi ilmu sosial empiris beberapa peneliti, gambaran tiger parenting sebenarnya juga tidak lazim di keluarga Asia. Tiger parenting bukan tentang suatu etnis melainkan lebih kepada bagaimana pribadi orang tua yang mendefinisikan pola asuh yang keras dan menuntut.
Tiger parenting akhirnya diadopsi banyak orang tua yang ingin anaknya sukses dengan perolehan prestasi akademik cemerlang dan karir gemilang. Mereka berusaha menuntut ranking di sekolah, hingga les sebanyak-banyaknya agar nantinya mereka dibekali ilmu. Mereka menganggap ini sebagai bentuk kasih sayang yang akan mengantarkan anaknya hidup mandiri dan bangga atas kemampuan yang dimiliki. Orang tua percaya merekalah yang paling tahu batasan terbaik, menghindarkan kesenangan yang menyesatkan. Pola asuh tiger parenting lalu dianggap sejalan dengan istilah ‘mother knows best’. Hal ini terlihat pada kedua anak Chua yang merasa masuk ke universitas bergengsi seperti Harvard bukanlah hal yang sulit. Bahkan, menurut Lulu Chua, keberhasilannya masuk ke Harvard merupakan berkat pola didik ibunya yang seorang tiger mom.
KawanWH tahu tidak? Terlepas dari kesuksesan anak-anak seperti Sophia dan Lulu Chua, tiger parents justru membuat anak-anak menjadi stres! Dalam penelitian yang dilakukan oleh Profesor Asosiasi Universitas Texas, Su Yeong Kim, dikatakan “tiger parenting tidak seefektif yang (Amy Chua) klaim.” Anak-anak para tiger parents dilaporkan memiliki tingkat gejala depresi dan dampak psikis yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak dengan gaya pengasuhan lain. Alih-alih meningkatkan kemampuan anak, tuntutan akan kesempurnaan menjadikan kreativitas anak terkurung dalam lingkup sosial yang tidak interaktif dan terbatas.
Menurut Psikolog Anak, Anastasia Satriyo, orang tua hendaknya paham atas keperluan, kekhawatiran, kebutuhan anak menanggapinya dengan responsif dan sensitif. Pada akhirnya tiger parenting bukan pola asuh yang bisa diseragamkan demi mencapai kesuksesan pada anak. Kesuksesan yang dirasakan oleh Sophia dan Lulu Chua dengan tiger parenting tidak berarti semua anak bisa menghadapi hal yang sama. Apa yang berhasil bagi mereka, belum tentu berhasil bagi orang lain.
Mendorong kemampuan terbaik memang menjadi salah satu tugas yang berlaku untuk orang tua dalam membesarkan anaknya. Namun, yang perlu disadari ialah anak-anak bukan robot dengan program yang dapat dipukul rata. Karakter-kepribadian, kapabilitas, kebutuhan, dan kemampuan setiap masing-masing individu termasuk anak adalah unik. Tiger parenting tidak selalu menawarkan jaminan keberhasilan pada setiap anak.
‘Pintar’ dalam segala bidang dan aspek, tidak menjamin anak akan menjadi sukses. Memaksakan pemahaman mengenai ide ‘menguasai semua bidang = sukses’ hanya akan berujung nestapa pada anak. Perlu diingat, apa yang dipaksakan tidak akan selalu berakhir baik.