
“Lu gabisa nongkrong lagi, nih?”
“Iya, sorry ya. Gue ada rapat sebentar lagi.”
“Tapi, ini kan jam 9 malem…?”
Apakah KawanWH familiar dengan situasi seperti itu?
Pada zaman modern yang serba cepat dan kompetitif ini, kesibukan serta padatnya jadwal kerja seakan menjadi indikator utama dalam mengukur kesuksesan yang dimiliki seseorang. Banyak dari mereka berbondong-bondong ingin unggul dalam segala hal sampai mencurahkan seluruh energi maupun waktu mereka hanya untuk bekerja. Rasanya selalu ada yang kurang setiap kali menggunakan waktu luang untuk tidak melakukan apa-apa. Istirahat seakan hanya ditujukan bagi mereka yang lemah dan tidak mampu bersaing. Lalu, akankah situasi tersebut menjadi awal yang baik atau malah menghantui masa depan?
Hustle culture atau budaya hiruk pikuk sudah menjadi sebuah norma dan kebiasaan bagi sebagian besar manusia di muka bumi. Menurut Oxford English Dictionary, awal mula “hustle” berasal dari kata Belanda “husselen” yang artinya “mengguncang atau melemparkan”. Seiring dengan berjalannya waktu, arti dari kata itu berkembang dan berubah menjadi “terburu-buru”. Seseorang dengan kebiasaan hustle culture akan mendedikasikan hidupnya hanya untuk bekerja sekeras-kerasnya. Tak sedikit juga orang sudah terjerumus ke dalam budaya hiruk pikuk sejak usia muda. Memang melelahkan, tetapi kebiasaan ini tetap saja diagung-agungkan.
Dunia kerja dianggap sebagai tempat menjamurnya orang-orang mengenal hustle culture. Mereka seakan terpenjara oleh jadwal kerja yang begitu padat dan menuntut. Namun, tak diduga ternyata hustle culture ini lebih dekat dengan kehidupan kita sebagai mahasiswa. KawanWH pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah “budak proker”. Istilah ini sangat melekat dengan mereka yang terlalu banyak memiliki kegiatan atau tergabung dalam berbagai program kerja baik di dalam maupun di luar organisasinya. Mahasiswa seakan terperangkap dalam persaingan siapa yang paling mampu aktif di berbagai kegiatan tanpa harus merelakan studi akademisnya. Tekanan besar yang seringkali berakhir pada perbudakan ini lalu dikhawatirkan dapat menjadi akar serta awal dinormalisasikannya hustle culture di masa depan.
Jika dilihat melalui bingkai pandemi, hustle culture seringkali dipraktikkan oleh para mahasiswa yang rindu akan rutinitas lamanya sebelum pandemi menyerang. Dari sini, mahasiswa berbondong-bondong mencari sebuah ‘pelampiasan’ dengan mendaftarkan dirinya ke banyak kegiatan. Keinginan untuk membuktikan diri demi memuaskan ego menjadi motif di balik obsesi dan ajang perburuan prestasi. Mereka kemudian pontang-panting mencari koneksi dan menambah wawasan. Lingkungan yang selalu sibuk dan keinginan untuk selalu menyaingi prestasi teman rasanya sudah menjadi tekanan sehari-hari untuk mahasiswa. Rapat yang tak henti, tugas yang senantiasa menanti, menjadi awal mula dinormalisasikannya gaya hidup ini.
Selain itu, timbulnya kebiasaan gila kerja ini tumbuh melalui pola pikir ‘no pain, no gain’ dan anggapan bahwa semakin banyak pengalaman akan menghasilkan kesempatan kerja yang semakin luas juga. Tanpa pikir panjang, banyak mahasiswa yang terlena dan langsung mendaftarkan diri pada segala kegiatan dengan kedok ‘menambah pengalaman’. Pengalaman memang menjadi kunci dari terbukanya sebuah kesempatan. Namun, kapan budaya hiruk pikuk ini berakhir? Ketika mahasiswa sibuk mengamankan jalan menuju promised land agar nantinya tidak membuat mereka bekerja secara terus menerus dengan segala tekanan yang ada, makna pekerjaan kini bergeser bukan lagi sebagai sarana, melainkan berubah menjadi sebuah tujuan tiada akhir.
Mahasiswa yang terbiasa dengan budaya maupun label budak proker, menjadi sebuah penanda bahwa budaya hiruk pikuk sudah tertanam dan berkembang di kalangan mahasiswa. Tekanan akibat berbagai aktivitas di kampus menjadi akar serta langkah pertama sebuah perbudakan yang berlanjut ke jenjang hidup berikutnya. Budaya ini menuntut agar mahasiswa terbiasa untuk bekerja lebih keras disertai tekanan dan tuntutan yang tiada akhirnya hingga mengesampingkan waktu luang untuk beristirahat.
Melihat orang lain yang sudah lebih berpengalaman dan berada jauh di depan bukan berarti kita juga harus memiliki pencapaian yang sama dengan mereka. Tidak ada yang perlu dibuktikan kepada orang lain agar mereka mengetahui jerih payah yang kita lalui untuk berada di titik ini. Kenali diri dengan mengetahui batasan-batasan wajar yang dapat dikembangkan untuk masa depan. Iming-iming terbukanya kesempatan seharusnya tidak membuat kita terbelenggu dalam hustle culture sejak dini. Hiruk pikuk kehidupan memang selalu saja ada hal yang sulit untuk dipungkiri, tetapi jangan sampai kita terjebak dalam budaya hiruk pikuk ini, ya!