Dugaan pelanggaran hak asasi manusia di daerah otonom Xinjiang, Tiongkok berujung pada pemblokiran impor berbagai produk Tiongkok oleh Amerika Serikat pada Senin (14/09). Pemblokiran terjadi karena AS mencurigai produk tersebut dibuat melalui sistem kerja paksa. AS menganggap Tiongkok telah melakukan pelanggaran HAM secara besar-besaran terhadap kelompok minoritas Uighur di Xinjiang. Pemblokiran pun dilakukan sebagai upaya untuk menekan Tiongkok sekaligus sanksi atas tindakan pelanggaran HAM di sana.
Xinjiang merupakan rumah bagi lebih dari 10 juta warga Uighur yang merupakan etnis minoritas Tiongkok yang beragama Islam. Sejak beberapa tahun lalu, diketahui Pemerintah Tiongkok melakukan pembangunan ‘kemah re-edukasi’ di Xinjiang. Namun, AS menganggap kemah tersebut sebagai kemah konsentrasi yang melecehkan agama dan etnis minoritas. Tak hanya itu, kelompok minoritas Uighur dipaksa bekerja secara kejam tanpa kebebasan dan pilihan. Para jurnalis investigasi dan peneliti sudah bertahun-tahun berusaha mengumpulkan bukti tentang kekejaman Tiongkok terhadap kelompok minoritas di sana. Akan tetapi, investigasi sulit dilakukan karena Pemerintah Tiongkok sangat membatasi akses orang luar terhadap daerah Xinjiang. Lebih lanjut, kelompok-kelompok pendukung HAM menyatakan bahwa lebih dari satu juta warga Uighur ditahan di kemah ‘pendidikan’ tersebut tanpa alasan yang jelas, seperti didakwa karena melakukan perjalanan tanpa izin, menghubungi orang di luar negeri, berdoa di depan umum, ataupun karena memakai jilbab.
AS melakukan pemblokiran impor terhadap lima perusahaan yang diduga menggunakan tenaga kerja paksa dari ‘kemah re-edukasi’ Pemerintah Tiongkok. Pertama, pemblokiran terhadap produk kapas dari Xinjiang Production and Construction Corps. Lalu, pakaian dari Yili Zhuowan Garment Manufacturing Co Ltd dan Baoding LYSZD Trade and Business Co Ltd. Keempat, perangkat komputer dari Hefei Bitland Information Technology Co. Ltd. yang berada di Provinsi Anhui. Terakhir, AS juga memblokir barang-barang impor dari pusat pelatihan Lop County sebagai susulan penahanan pada 1 Juli lalu dari produk Lop County Meixin Hair Product Co.
Di lain sisi, Pemerintah Tiongkok membantah seluruh dugaan yang ada. Mereka menyebut kemah tersebut sebagai pusat pelatihan keterampilan untuk menghapus kemiskinan dan pandangan-pandangan radikal Muslim di kalangan kelompok Uighur. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Wang Wenbin, mengatakan bahwa AS menggunakan masalah tenaga kerja paksa sebagai dalih untuk menerapkan pembatasan impor terhadap perusahaan-perusahaan Tiongkok. Ia menganggap tindakan AS sebagai perilaku bullying.
Pemerintah Tiongkok menyatakan bahwa mereka mengajari masyarakat minoritas yang berada di kemah Bahasa Mandarin lisan dan tulisan, keterampilan bekerja, serta pengetahuan mengenai kehidupan perkotaan. Tak hanya itu, pada Kamis (17/09) pemerintah mengeluarkan buku putih yang menyatakan jutaan pekerja diuntungkan dari ‘edukasi dan pelatihan vokasi’ yang telah diberikan. Pelatihan di kemah edukasi tersebut pun dianggap berhasil meningkatkan kesempatan kerja, memerangi kemiskinan, hingga menciptakan tenaga kerja yang terampil dan inovatif dengan berbasis pengetahuan sehingga mereka siap bekerja di era baru. Bahkan, mereka mengklaim selalu melindungi hak-hak etnis minoritas dan memperlakukan kelompok Uighur sama dengan lainnya.
Salah satu tokoh dari Uyghur Human Rights Project, Peter Irwin, menyatakan bahwa Tiongkok kerap merilis buku putih saat mereka merasa terancam dari tuduhan-tuduhan pelanggaran HAM yang ada. Sementara itu, Pejabat Wakil Sekretaris dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS Ken Cuccinelli menyampaikan bahwa larangan ekspor dari Xinjiang belum bisa diaplikasikan untuk seluruh wilayah Xinjiang karena kondisinya unik, tak hanya terhadap perusahaan atau fasilitas saja tetapi harus mempertimbangkan aspek hukum juga. AS pun menyatakan akan terus melakukan investigasi hingga menemukan bukti yang kuat terkait pelanggaran HAM di Xinjiang. AS juga tidak akan tinggal diam ketika Tiongkok melakukan pelanggaran tersebut.