V for Validation

Media sosial memberikan kesempatan bagi individu untuk memiliki persona masing-masing; otentik, ilusi, bahkan keduanya. Salah satu faktor penentu persona tersebut merupakan penampilan fisik sang subjek. Terlebih dalam dunia maya, kecenderungan seseorang untuk berpenampilan dengan ciri tertentu untuk memperoleh perhatian hingga validasi menjadi status quo. Berkurangnya interaksi fisik telah menjadikan media sosial panggung dunia yang paling menghibur, dan semua orang ingin berada di bawah sorotan, bukan?

Motivasi untuk menjadi viral mendorong netizen untuk mengunggah konten-konten yang sekiranya menarik bagi audiens masing-masing, terlebih dalam keadaan pandemi. Dengan konten disukai oleh audiens, pengunggah memperoleh kepuasan dari fantasi seakan mereka subjek yang diinginkan. Penurunan interaksi sosial secara fisik tentu menjadikan sensasi berekspresi di media sosial lebih dinamis dan intens. Sehingga, validasi yang diperoleh melalui interaksi virtual ini seakan-akan menjadi penyakit menular yang dapat memberikan status ‘si relevan’. Sebagai makhluk sosial, validasi yang lahir dari interaksi tersebut tentu memberikan sense of belonging yang merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia.

Pada sisi lain, ada pula mereka yang berekspresi sebagai bentuk mencintai dan memanjakan diri sendiri. Menurut Dr. Helen Fisher, peneliti asal Kinsey Institute, keadaan karantina mendorong stres pada manusia yang memicu respon ‘fight or flight’. Respon ‘fight or flight’ merupakan reaksi fisiologis otomatis yang muncul ketika seseorang berhadapan dengan peristiwa yang menakutkan atau menegangkan, sehingga mendorong subjek untuk menentukan apakah ia harus fight (lawan) atau flee (menghindar). Tekanan ini meningkatkan hormon testosteron yang memicu produksi hormon norepinefrin dan epinefrin, yang merangsang naluri manusia seperti energi, motivasi, fokus, dan tidak terkecuali hasrat seksual.

Koneksi manusia yang sulit terwujud saat ini menghalangi mereka yang ingin mengekspresikan keinginan-keinginan tersebut secara langsung. Untuk tetap merasakan human connection, berhubungan dengan orang lain di dunia maya menjadi hal terdekat yang dapat mereka lakukan. Maka, tidak heran bahwa usaha untuk menyalurkan hasrat tersebut juga dilakukan secara daring.

Proyeksi hasrat seksual tidak selalu mengarah pada aktivitas seksual itu sendiri. Kemampuan untuk menerima hasrat manusiawi, entah itu bernuansa seksual maupun tidak, merupakan hal yang positif. Kemampuan untuk menikmati dan mengekspresikan sex appeal juga dapat meningkatkan rasa percaya diri seseorang, serta memberikan rasa kebebasan dan otoritas atas tubuh mereka sendiri. Bahkan, tidak sedikit orang yang memanfaatkan kebebasan seksual ini untuk mengunggah dan monetisasi konten yang mereka buat. Namun, perlu dimengerti bahwa hasrat merupakan bagian dari politik bermasyarakat. Apa yang menginspirasi bagi seseorang belum tentu demikian bagi orang lain. Manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu mempolitisasi perilaku yang dilakukan oleh dan kepada mereka; termasuk hasrat, citra dan harga diri.

Mungkin tidak semua orang menginginkan perhatian yang sama, tetapi secara sadar maupun tidak, semua orang memiliki keinginan untuk disukai. Bagi sebagian orang, validasi mungkin sebuah vaksin untuk ego.

Pada akhirnya, baik dari pihak lain atau diri sendiri, keinginan untuk divalidasi melalui ekspresi adalah pilihan pribadi.