“Mundur Xi Jinping, mundur Partai Komunis!”
Sejak Jumat (25/11) kemarin, demonstrasi besar-besaran telah terjadi di berbagai kota di Tiongkok yang menyerukan kemunduran Xi Jinping dan Partai Komunis. Mengutip dari Wall Street Journal, demonstrasi besar yang meluas ke berbagai kota seperti ini sangat jarang terjadi di Tiongkok. Hal ini dikarenakan sistem komunis Tiongkok yang memiliki pengawasan ketat serta konsekuensi besar terhadap perbedaan pendapat. Namun, apa yang sebenarnya terjadi di Tiongkok? Berikut adalah fakta-fakta penting tentang demonstrasi terlangka Tiongkok yang perlu KawanWH ketahui.
Apa yang Sedang Terjadi di Tiongkok?
Pada Sabtu (26/11), ratusan warga Tiongkok berkumpul dan menyalakan lilin di sepanjang jalan di Kota Urumqi. Hal tersebut dilakukan sebagai tanda berduka atas tewasnya sepuluh korban kebakaran di sebuah apartemen yang terletak di Kota Urumqi, Xinjiang, akibat ketatnya kebijakan nol-COVID di Tiongkok. Akan tetapi, rasa duka yang dialami para warga juga dibalut oleh amarah yang besar sehingga memicu pecahnya kerusuhan. Warga Tiongkok yang merasa geram dengan kebijakan nol-COVID melakukan demonstrasi sebagai bentuk protes terhadap pemerintah. Dilansir dari CNN, para demonstran menyanyikan lagu kebangsaan Tiongkok sambil memegang spanduk protes terhadap kebijakan nol-COVID yang telah membuat mereka terisolasi. Selain itu, mereka juga membawa kertas putih kosong sebagai simbol dari penyensoran yang sangat ketat di Tiongkok. Aksi demonstrasi yang berawal di Urumqi ini kemudian menyebar ke berbagai kota lain, seperti Beijing, Chengdu, Guangzhou, dan Wuhan.
Mengapa Warga Tiongkok Melakukan Demonstrasi?
Demonstrasi ini bermula ketika terjadi kebakaran di apartemen Urumqi yang menewaskan sepuluh orang korban. Dalam sebuah video yang tersebar di media sosial, terlihat bahwa petugas pemadam kebakaran tertahan oleh ketatnya lockdown di Tiongkok sehingga terlambat datang ke tempat kejadian. Oleh karena itu, warga Tiongkok kemudian menyalahkan kebijakan nol-COVID yang sangat ketat atas tewasnya sepuluh orang tersebut. Kebijakan nol-COVID sendiri merupakan kebijakan yang diterapkan Tiongkok sejak awal pandemi untuk memberantas virus COVID-19 di negaranya. Kebijakan tersebut membuat warga Tiongkok harus melakukan lockdown yang tidak berujung dan beberapa kota besar ditutup. Akan tetapi, kebijakan tersebut justru memicu amarah masyarakat karena mereka merasa terisolasi dan tidak memiliki kebebasan. Tidak hanya itu, kebijakan nol-COVID juga membuat warga Tiongkok mengalami tekanan ekonomi dan krisis rumah tangga.
Apa Saja Tuntutan Warga Tiongkok terhadap Pemerintah?
Dalam aksi demonstrasi besar-besaran ini, warga meneriakkan beberapa tuntutan kepada pemerintah. Awalnya, tuntutan tersebut mendesak pemerintah untuk mencabut kebijakan lockdown. Akan tetapi, lama-kelamaan tuntutan tersebut bertambah. Kini, para demonstran juga menuntut turunnya Xi Jinping dan menuntut hak asasi mereka yang dirasa belum terpenuhi. Selain itu, mereka juga menuntut kebebasan berekspresi melalui pengangkatan kertas putih kosong. Dilansir dari CNN, para mahasiswa juga turut menyerukan tuntutannya dengan meneriakkan “Demokrasi dan supremasi hukum, kebebasan berekspresi!”.
Bagaimana Tanggapan Pemerintah terhadap Demonstrasi Tersebut?
Menanggapi demonstrasi tersebut, pemerintah kemudian membuka suara. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Zhao Lijian, mengadakan konferensi pers terkait demonstrasi tersebut pada Senin (28/11). Dalam konferensi pers tersebut, Zhao menyangkal tuntutan warga untuk menurunkan Xi Jinping dan mengatakan bahwa unggahan terkait kebakaran dan kebijakan nol-COVID didasari oleh motif tertentu. Media pemerintah Tiongkok juga meredam berita demonstrasi tersebut dengan informasi mengenai parahnya wabah COVID-19 di negaranya. Sementara itu, pihak kepolisian berusaha membubarkan kerumunan. Namun, masih terjadi kekerasan seperti pemukulan dan penyeretan warga sipil dalam upaya pembubaran demonstrasi ini.
Apa yang Akan Terjadi pada Tiongkok ke Depannya?
Tuntutan warga Tiongkok dalam demonstrasi ini menimbulkan pertanyaan ‘Akankah Xi Jinping turun dari jabatannya?’. Menjawab pertanyaan tersebut, Adrianus Harsawaskita, dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan yang berfokus pada kajian politik global Tiongkok, mengatakan bahwa posisi Xi Jinping saat ini masih terlalu kuat untuk digantikan dalam waktu dekat. Kemudian, Adrianus juga menambahkan dua kata kunci dalam demonstrasi ini, yaitu transparansi dan keterbukaan. “Demonstrasi ini juga bisa dibilang ledakan, masyarakat udah nggak kuat dan nggak tau apa yang terjadi. Mereka diam saja jadi korban, jadi lebih baik mereka berteriak,” ucapnya dalam wawancara yang dilakukan Warta Himahi pada Kamis, (1/12).
Dengan kata lain, demonstrasi ini terjadi karena tidak ada transparansi dan sistem yang terbuka di Tiongkok. Warga Tiongkok dipaksa untuk melakukan lockdown tanpa mengetahui secara pasti data-data dan kondisi nyata terkait COVID-19 di negaranya. Dalam hal ini, Adrianus melakukan perbandingan dengan sistem demokrasi yang dinilai terbuka. Melalui sistem yang terbuka, kekurangan akan lebih terlihat dan dapat mengarah pada proses perbaikan. Hal tersebutlah yang diinginkan dan dituntut oleh warga Tiongkok dalam aksi demonstrasi ini.