Disclaimer: Narasumber Get-To-Know edisi ini meminta untuk identitasnya disembunyikan. Untuk menjaga kerahasiaan narasumber ini, nama samaran akan digunakan.
Sebagai anak bungsu yang dianggap cerdas dengan latar belakang keluarga yang tergolong mapan, Darina selalu mendapat komentar yang terkesan baik saat ia remaja. “Kamu sangat dewasa untuk usia 13 tahun, ya!” Kalimat yang satu ini sedikit terlalu sering didengar pada saat itu. Kedewasaan tentu merupakan hal yang positif; jika bukan dalam situasi yang tidak juga membawa kesakitan.
“Buat aku sendiri, dulu aku selalu berpikir itu hal yang baik; karena diajarkannya seperti itu. Ketika sudah besar dan mulai menjalani psikoterapi, ternyata aku baru sadar bahwa anak kecil yang terpaksa harus menjadi orang dewasa untuk dirinya sendiri banyak lukanya, ya.” Tidak ada anak yang pantas untuk kehilangan kebahagiaan masa kecilnya karena egoisme orang tuanya. Tetapi, hal tersebut adalah yang dialami oleh Darina saat ia berusia 9 tahun. Saat itu, keluarganya memutuskan untuk pindah ke Australia untuk pekerjaan ayahnya.
Ternyata alasan utama ayahnya mengajak mereka untuk pindah adalah untuk lebih dekat dengan selingkuhan dan anaknya yang di sana. “When we found out, it was like all hell broke loose.” Di usia yang begitu muda dan rentan terhadap perubahan lingkungannya, Darina mengaku rasa sakit yang dirasakannya saat itu masih memengaruhi dirinya hingga hari ini. “Bukannya gak mau berdamai, tapi kalau ditanya apa masih sakit, ya tentu saja,” ucapnya sambil tertawa. “Ketika kamu harus menyaksikan dua orang dewasa berkelahi seperti anak kecil, bingung pastinya. Tapi lain halnya ketika harus mendengar semua kata-kata yang diucapkan mereka, dunia rasanya seperti neraka saat itu.”
Darina mengaku sulit untuk menentukan siapa di antara kedua orang tuanya yang lebih patut dipercayai: Janji-janji manis dari sang ayah dan relasi yang erat dengan ibunya sejak kecil sangat menumbuhkan konflik di dalam dirinya. “My father still tries to reach us sometimes, sends us money and all over the years.” Ia mengakui bahwa tindakan tersebut seperti permintaan maaf yang kekanak-kanakan, seakan ayahnya tidak tahu cara meminta maaf secara dewasa. Sebab, permintaan maaf yang tulus harus disesuaikan dengan kondisi dan konsekuensi perbuatan orang tersebut, berapa pun usianya. “Aku bukan merasa dendam, tapi lebih karena aku merasa bahwa aku lebih kenal dengan rasa pahit yang ‘disuapi’ selama lebih dari sepuluh tahun dibanding permintaan maaf.”
Di matanya, ibunya adalah sosok perempuan yang sangat kuat dalam melewati hal ini. Darina tertawa mengingat dirinya bersikeras mengikut campuri urusan orang tuanya. Berbeda dengan kakaknya yang sudah mencurigai kejanggalan di rumah tangga sebelum mereka pindah dan langsung memutuskan untuk lepas tangan ketika rahasia ayahnya terbongkar.
“Aku pada waktu itu homeschooled, jadi bisa dibayangkan betapa bingungnya aku tidak punya siapa-siapa yang aku bisa ajak curhat. Keluarga besar tidak ada yang tahu, karena setiap bertelepon dengan mereka, orang tuaku bersandiwara.” Beban yang harus ditanggung olehnya sangat melelahkan dalam situasi ini. Komunikasi yang sehat maupun mekanisme pemecahan masalah yang kokoh di usia yang begitu muda tersebut hampir mustahil untuk dibayangkan. Walaupun menyakitkan, bertahan dengan hati yang besar merupakan satu-satunya kekuatan yang Darina miliki.
Setelah hampir enam tahun bertahan di rumah dengan penuh sandiwara, Darina beserta kakak dan ibunya memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan menetap di Bali. Walaupun berada di lingkungan baru yang cenderung membuat seseorang merasa asing, Darina menemukan teman-teman yang memiliki kesamaan dengannya. Setelah sekian lama menyangka ia sendirian dalam pertarungan ini, Darina bersuka cita karena menemukan orang lain yang mengalami nasib yang sama.
Rasa dendam yang selama ini terkubur seperti meluap di saat Darina menemukan teman-teman senasib tersebut. “Finding out that your friends are about the same as you are, I found that perhaps at the time we thought we were hopeless and broken. We did all the reckless stuff you could name.” Terlalu lama bertahan dan tidak dapat menyalurkan kepahitan yang dilewatinya, Darina seakan-akan ingin “membalas dendam” ke dunia untuk rasa sakit yang ia alami. “Sekarang sih aku sadar, pas itu seperti memberi jari tengah ke dunia yang sangat kejam.”
Di usia yang kini sudah dewasa, Darina akhirnya memahami situasi yang ia alami saat kecil. Penasaran akan alasan keluarganya bertindak demikian mendorong Darina untuk menyalurkan rasa itu untuk mendalami studi developmental psychology di waktu luangnya. Pemahaman tersebut membulatkan niatnya untuk mencari pertolongan ke psikiater saat berkuliah. “I know I have issues, tapi selalu menolak untuk percaya bahwa aku punya permasalahan yang memang harus diselesaikan; even if it takes a lifetime.” Walaupun hak untuk memiliki akses pada perawatan kesehatan mental tidak dimiliki semua orang, menurut Darina, ada baiknya untuk meluangkan ruang dan waktu untuk memahami isu dirimu sendiri.
Menurut Darina, mengeluh dan merasa lelah sesungguhnya tidak apa-apa. Pertolongan dari seorang profesional seperti terapis atau semacamnya adalah hal yang lebih dibutuhkan untuk menolong diri sendiri. “Because at the end of the day, everything you do, you should make you proud. You have to be your own hero.” Karena, bahkan proses untuk secara mandiri mendapatkan bantuan tersebut termasuk langkah besar yang dapat diambil oleh seseorang. Ketika ditanyakan apa yang ia lihat saat mengingat dirinya saat kecil, Darina terlihat prihatin namun sekaligus juga merasa bangga. “She is so troubled and has no clue how much power she’s about to have. I want her to know that she is not alone.”
Merasa prihatin dengan banyaknya orang yang kehilangan masa kecilnya karena memiliki keluarga yang tidak stabil, Darina berpesan bahwa tidak seorangpun pantas mengalami hal tersebut. “Always know that you are never, ever alone in this. Kamu lebih kuat dari yang kamu sadari. Jangan ragu untuk mencari pertolongan dan jangan pernah meragukan dirimu sendiri, because you deserve the goodness of the world even if you think otherwise. You can always rely on yourself, so never forget to rely on yourself to make choices that will help you in the long run: like getting therapy.”
