Warga Amerika Serikat keturunan Afrika, atau yang lebih sering disebut African Americans, adalah bagian dari masyarakat Amerika Serikat yang kerap mengalami berbagai bentuk diskriminasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir semua warga AS keturunan Afrika merupakan keturunan para budak yang dibawa ke negeri Uncle Sam secara paksa dari Afrika dari abad ke-17 hingga abad ke- 19.
Perbudakan di Amerika Serikat memang secara resmi berakhir secara nasional pada tahun 1865. Sebelumnya, hanya beberapa negara bagian di AS yang tidak melaksanakan praktik perbudakan, khususnya negara-negara bagian di daerah utara. Meski demikian, insiden penculikan para warga keturunan Afrika saat itu sering terjadi, untuk kemudian diperbudak di negara bagian lain yang masih mengamini perbudakan. Perlakuan tidak adil ini diabadikan oleh berbagai penulis dan seniman lainnya dalam literatur, musik dan film. Salah satu film yang mengangkat cerita nyata tentang penculikan macam ini adalah 12 Years a Slave (2013). Film tersebut merupakan adaptasi dari biografi yang ditulis oleh Solomon Northup, salah satu mangsa praktik kejam tersebut.
Meskipun institusi perbudakan sudah menjadi ilegal di AS, diskriminasi terhadap para keturunan Afrika masih terus terjadi. Bahkan di beberapa negara bagian AS sempat mengimplementasikan beberapa undang-undang yang sangat diskriminatif, yang disebut Jim Crow Laws. Undang-undang ini memisahkan para warga keturunan Afrika dari warga kulit putih di ranah sekolah, perumahan, bahkan transportasi umum. Karena pemisahan tersebut, para warga keturunan Afrika selalu mendapatkan fasilitas yang jauh sangat inferior dibandingkan apa yang dinikmati oleh kaum etnis lainnya di AS. Beberapa undang-undang Jim Crow Laws baru mulai dibongkar pada tahun 1950-an dengan dicetuskannya gerakan sosial masal anti-rasisme. Salah satu pemimpin gerakan tersebut yang terkenal adalah Malcolm X, yang dikisahkan di film dengan judul Malcolm X (1992) yang dibintangi aktor legendaris Denzel Washington.
Pada tahun 1964, semua undang-undang Jim Crow Laws akhirnya sukses dicabut sepenuhnya. Warga AS keturunan Afrika jauh lebih terintegrasi dari sebelumnya, hingga banyak dari mereka yang berkontribusi besar dalam berbagai kemajuan kultural dan ilmiah. Bahkan musik Rock N Roll dan Hip-Hop yang masih populer di seluruh dunia hingga hari ini, bermula dari para musisi keturunan Afrika. Namun diskriminasi berbasis ras terus menghantui mereka, hingga seringkali kontribusi para keturunan Afrika dikecilkan terlepas dari besarnya jasa mereka. Salah satu film yang mengabadikan kontribusi para keturunan Afrika yang seringkali dilupakan tersebut adalah Hidden Figures (2016), yang menceritakan sekelompok perempuan keturunan Afrika yang membantu NASA mensukseskan berbagai misi antariksa pada tahun 1960-an.
Sayangnya, para keturunan Afrika di AS masih seringkali menjadi sasaran praktik diskriminatif yang dilakukan bukan hanya oleh individu ataupun kelompok rasis, tetapi juga para penegak hukum. Insiden kematian George Floyd yang belakangan sedang viral bukanlah satu-satunya kekerasan yang dilakukan oleh oknum kepolisian. Film dokumenter The 13th (2016) menguak berbagai kebusukan yang ada dalam sistem hukum AS yang dinilai tidak adil dan eksploitatif.
Perjuangan para warga keturunan Afrika di AS belum berakhir. Terlepas dari banyaknya produk media, dari buku hingga film, seperti yang disebut di artikel ini, rasisme dan perlakuan tak adil secara institusional terus menghantui para keturunan Afrika di Amerika Serikat, seperti yang kita dengar dari kematian George Floyd. Namun di tengah fakta tragis tersebut, dunia akan terus mengabadikan cerita-cerita para keturunan Afrika di AS lewat literatur, musik, dan film.