Di pedalaman Papua, Yulia Indrawati Sari, atau Indri biasa ia dikenal, mengalami sebuah kejadian yang mengubah pandangannya terhadap Papua. Ia sedang makan lesehan bersama beberapa teman ketika seorang mama-mama OAP (orang asli Papua) yang hendak makan di sana juga datang menghampiri mereka. Beliau mengatakan kurang lebih, “Nona-nona, bolehkah mama makan di sini dengan anak mama? Mama jauh jalan dari gunung, mama bau, tapi bolehkah mama duduk makan? Mama ada uang, mama bayar.” Kata – kata Mama Papua ini mengagetkan Indri, menyadarkannya bahwa ada hal yang salah. “She owns the land, I’m just a visitor,” kata Indri saat menceritakan kembali pengalaman tersebut.
Sepuluh tahun yang lalu, Indri mengambil bagian sebagai koordinator tim peneliti dalam penelitian oleh AKATIGA Foundation yang berkolaborasi bersama World Bank yang bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah pusat di Papua.
Tidak ia sangka, penelitian itulah yang akan menjadi awal mula ketertarikannya terhadap Papua. “Pengalaman ke lapangan ini yang pertama membuka hati dan pikiran saya untuk mengenal Papua lebih jauh,” kata Indri saat mengingat kembali pengalaman pertamanya ke Papua.
Indri mengungkapkan bahwa sebelum pertama kali berangkat ke Papua, orang-orang sekitarnya hanya memiliki dua macam reaksi—kagum dan khawatir. Menurut Indri, dari kaca mata orang luar, Papua selalu dikaitkan dengan eksotisme atau konflik saja. Indri merasa bahwa kedua miskonsepsi tersebut sangat tidak adil bagi Papua. “Bukan saya mau mengatakan Papua itu tidak indah, Papua memang sangat indah. Namun, di balik keindahan Papua, ada banyak layer permasalahan yang kompleks.”
Saat ditanya mengenai disparitas kehidupan di Papua, Indri menjelaskan, “Tanah Papua adalah daerah yang cukup kompleks dan menantang. Layer disparitas di Papua sangat berlapis-lapis. Terdapat ketimpangan kelas ekonomi, ketimpangan horizontal antara OAP dan orang non-asli Papua, serta ketimpangan antara OAP-nya sendiri. Disparitasnya sangat kelihatan, terutama di daerah yang sulit akses, yaitu di pegunungannya.”
Bagi Indri, apabila ‘merdeka’ dibicarakan dalam konteks kesejahteraan dan demokrasi, beberapa OAP memang sudah merdeka. Namun, ada juga komponen-komponen bagi OAP yang belum bisa dikatakan ‘merdeka,’ karena akses terhadap kehidupan yang layak–seperti air bersih, kesehatan, dan pendidikan–masih belum terjamin. Hal yang sama pun terjadi terhadap aspek demokrasi, masih dibatasinya ruang untuk menyampaikan kritik dan berpendapat.
“Semakin keras dan diawasi, semakin jauh Papua dari Jakarta,” katanya, menekankan pentingnya mengkaji ulang pendekatan keamanan pemerintah pusat terhadap Papua.
Selain itu, Indri juga merasa walaupun saat ini pembangunan sudah mulai masuk ke pedesaan Papua, pembangunan ekonomi di Papua harus difokuskan pada pengurangan ketimpangan dibanding menggunakan pendekatan pertumbuhan ekonomi yang mengasumsikan adanya trickle-down effect. “Tidak perlu kapitalis, tetapi yang cocok. Papua perlu pembangunan berkelanjutan yang menguatkan mereka,” kata Indri.
“Saya bekerja di NGO, saya kira saya sudah cukup mengerti dengan ketidakadilan,” ungkap Indri saat mengaku bahwa ada banyak stereotip mengenai Papua yang tanpa sadar telah terinternalisasi dalam dirinya. Bias dalam Indri tersebut baru terpecahkan ketika ia mulai berteman dengan para OAP. “Kalau bicara kelihatannya tegas, tapi mereka sangat lucu dan hatinya lembut! Saya paling terhibur dengan mop (wacana humor khas Papua) yang sering disampaikan oleh mama-mama dan pace-pace. Kemanapun saya pergi, ke daerah terpencil di Pegunungan Tengah misalnya, mereka selalu menerima saya dengan baik,”
Rasa dan wangi kuliner Papua terus mengisi ruang rindu di kepala Indri ketika diminta kembali untuk mengingat pengalamannya di Papua. Ikan mujair dari Danau Sentani, ikan laut bakar di Manokwari, keladi, pisang, dan sukun goreng, papeda, serta sayur daun gedi menjadi beberapa makanan kesukaannya. Ia pernah mendengar lelucon, “Ikan di Papua mati 1 kali, tapi ikan di Jawa mati 7 kali,” karena begitu segarnya ikan-ikan di Papua dibandingkan dengan yang di Jawa. “Bumbunya sedikit, tidak overpowering kesegaran ikannya. Bahkan Ibu saya sendiri lelah mendengar saya membandingkan ikan bakar di Jawa dengan ikan di Papua terus,” cerita Indri.
Menurut Indri, sebagai masyarakat biasa, kontribusi terbesar yang bisa diberikan kepada Papua adalah untuk tidak memperkuat rasisme. Ia berkata, “Jangan sampai terjebak dalam konstruksi tentang Papua yang tidak membantu Papua. Cobalah kenali Papua lebih jauh, jangan menilai mereka tanpa mencoba memahami mereka. Pelajari sebetulnya apa yang terjadi di Papua, dan pokoknya, jangan ikut menguatkan rasisme.”