Zona Nyaman adalah Alasan Rendahnya Migrasi Pesepakbola Indonesia

Pernahkah kalian merasa bahwa sebagai orang Indonesia, kalian cenderung lebih senang berada di zona nyaman? Tenang saja, kalian tidak sendiri! Zona nyaman merupakan salah satu stereotip yang dimiliki oleh orang Indonesia. Sebenarnya, apa yang membuat orang Indonesia betah di zona nyaman?

Secara historis, beberapa faktor ini disebut sebagai alasan mengapa orang Indonesia betah di zona nyaman. Pertama, posisi geografis Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa; serta kedua, berkah sumber daya alam yang melimpah hampir di seluruh daerah Indonesia. Keduanya tidak selalu bisa didapatkan oleh bangsa lain, sehingga bahkan secara natural, orang Indonesia telah hidup di kondisi atau zona yang sangat nyaman: tidak perlu bersusah payah bertahan hidup dari cuaca ekstrem, ataupun kesulitan mencari makan. Namun, zona nyaman sebetulnya mempersempit perspektif dan mengurangi inisiatif baru di dalam diri yang dapat membantu kita untuk mencapai berbagai kapabilitas baru.

Stereotip kita yang betah di zona nyaman juga ada dan berdampak pada prestasi atlet senior di cabang olahraga sepakbola. Kendati mampu mencapai berbagai prestasi di kelas junior, tim nasional (timnas) senior Indonesia justru kesulitan untuk mencapai prestasi yang sama. Jangankan untuk sampai lolos ke Piala Dunia, di tingkat kawasan Asia Tenggara saja, tim senior Indonesia masih jauh tertinggal. Kesulitan ini sering kali disebabkan oleh kepuasan para atlet muda ketika mencapai zona nyaman mereka: memiliki prestasi yang cukup baik, gaji klub yang tergolong tinggi untuk usianya, serta jumlah pengikut di media sosial yang dapat mencapai puluhan ribu hingga satu juta pengikut, contohnya adalah Nurhidayat (298 ribu pengikut di Instagram) hingga Egy Maulana Vikri (1.4 juta pengikut). Seluruh kejayaan yang dicapai di usia yang sangat muda ini membuat mereka merasa ‘cukup’, walau sebenarnya, karir seorang pesepakbola masih bisa berlanjut sampai 10-15 tahun setelahnya.

Sikap mudah puas ini menyebabkan hanya sedikit pemain lokal kita yang memiliki kontrak senior dengan klub sepak bola di luar negeri. Terhitung hanya ada tiga orang: Yanto Basna di Thailand bersama PT Prachuap, Egy Maulana Vikri di klub Lechia Gdansk dari Polandia, serta Witan Sulaiman di klub FK Radnik Surdulica di Serbia.

Sumber: Media PSSI
Sumber: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Padahal, untuk meningkatkan taraf permainan sepakbola suatu negara, pemain lokal harus mau keluar dari kompetisi domestik, karena setiap negara memiliki taraf permainan yang berbeda-beda. Contohnya adalah migrasi pemain dalam liga – liga dengan taraf permainan terbaik yang didominasi oleh negara – negara Eropa seperti liga Inggris, Prancis, Spanyol dan Jerman. Di sana, arus pemain yang berasal dari luar Eropa, misalnya dari Amerika Latin dan Afrika sudah bukan menjadi hal yang asing. Para pemain asing ini memahami bahwa dengan bermain di Eropa, maka level permainan mereka dapat meningkat. Sehingga, ketika mereka kembali ke negara asalnya, mereka bisa menjadi talenta hebat dalam timnas negara yang dapat membantu untuk mencapai prestasi.

Sayangnya, rasa nyaman yang dialami oleh para pesepakbola Indonesia serta tata kelola liga Indonesia yang kurang baik menghambat tumbuh kembang mereka, terlebih lagi bagi upaya untuk mencapai prestasi di timnas senior.

“Dare to take risk, do not take it just because of the money,” kata pemain timnas senior yang dibesarkan di Belanda, Irfan Bachdim dalam Hanif & Rendy Show. Irfan sendiri menyatakan bahwa ia berani untuk mengambil risiko supaya dapat meningkatkan karir dengan menawarkan diri ikut uji coba klub Thailand, lalu dikontrak dengan gaji yang lebih sedikit, hingga akhirnya ia berhasil berkarir di liga Jepang. Dengan keluar dari zona nyaman, Irfan membuktikan bahwa pemain Indonesia dapat mencapai ke tingkat permainan yang lebih baik. Pada akhirnya, dapat kita lihat bahwa zona nyaman ini merupakan faktor yang membedakan pemain Indonesia dengan negara lain.

“Stereotip kita yang betah di zona nyaman juga ada dan berdampak pada prestasi atlet senior di cabang olahraga sepakbola. Kendati mampu mencapai berbagai prestasi di kelas junior, tim nasional (timnas) senior Indonesia justru kesulitan untuk mencapai prestasi yang sama.”