Kecaman Internasional terhadap Kudeta di Niger

Sekelompok Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) di Niger melakukan kudeta dengan menangkap Presiden dan setidaknya lima menterinya. Hingga saat ini, Niger sudah mengalami empat kali kudeta sejak merdeka dari Prancis pada tahun 1960. Kudeta yang terjadi kali ini dipimpin oleh seorang jenderal bernama Abdorahmane Tchiani pada Rabu (26/7) lalu. Dilansir dari CNN, Tchiani menculik Presiden Mohamed Bazoum yang terpilih secara demokratis karena dianggap pro Barat. Presiden Bazoum adalah pemimpin terpilih pertama yang menggantikan pemimpin lainnya di Niger sejak kemerdekaan pada tahun 1960. Saat ini, para penculik telah menangguhkan konstitusi negara Niger dan melantik Jenderal Abdourahmane Tchiani sebagai kepala negara. 

Kudeta tersebut mendapatkan banyak kecaman dari berbagai negara dan organisasi internasional di dunia seperti Prancis, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Economic Community of West African States (ECOWAS), dan Uni Eropa (UE). Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, melalui akun Twitter @antonioguterres, menyatakan secara tegas mengutuk upaya Tchiani dalam merebut kekuasaan melalui kudeta tersebut. Dilansir dari CNBC, Prancis, bekas negara kolonial Niger, juga mengumumkan permintaan mereka terhadap Tchiani supaya Presiden Bazoum kembali menjabat setelah pelengserannya pada Rabu (26/7) malam. Namun, Jendral Tchiani yang merebut kekuasaan Niger, justru merespon permintaan Prancis dengan  menuduh bahwa Prancis berusaha ikut campur secara militer untuk mengembalikan Bazoum ke kursi presidennya. Dengan segera, melalui siaran televisi lokal negaranya, Menteri Luar Negeri Prancis, Catherine Colonna membantah tuduhan tersebut dengan mengatakan bahwa mereka hanya berupaya melindungi warga negara dan kepentingannya di Niger. 

Selain Prancis, kudeta Niger juga mendapatkan perhatian dari blok regional Afrika Barat, yaitu ECOWAS. Blok tersebut memberikan ultimatum agar Bazoum dibebaskan dan dipulihkan dalam waktu satu pekan. Kemudian, ECOWAS juga memberikan hukuman usai penggulingan dengan menutup perbatasan darat dan udara dengan Niger. Dilansir dari VOA, ECOWAS mengumumkan sanksi perjalanan dan ekonomi terhadap Niger pada hari Minggu (30/7) dan mengatakan mereka akan mengerahkan kekuatan jika para pemimpin kudeta menolak untuk mengembalikan kekuasaan Bazoum dalam waktu satu minggu. Dilansir dari AlJazeera, ECOWAS juga mengirim delegasi ke Niger untuk bernegosiasi dengan para perwira militer yang merebut kekuasaan dalam kudeta tersebut. Meskipun telah dilakukan perundingan, Presiden Bazoum tetap tidak dibebaskan karena para Paspampres tersebut menolak untuk membebaskannya. 

 Sejalan dengan hal tersebut, dilansir dari website resmi UE,  Kepala Kebijakan Luar negeri UE, Josep Borrell juga menyatakan akan tetap mengakui Presiden Mohamed Bazoum sebagai pemimpin Niger dan berjanji untuk mendukung setiap tindakan yang diadopsi oleh ECOWAS terhadap kudeta yang dilakukan junta militer. Anggota UE seperti, Prancis, Italia, dan Spanyol, juga saat ini telah mengumumkan evakuasi untuk warga negaranya serta menawarkan bantuan kepada warga negara Eropa lainnya. Berbeda dengan ketiga negara tersebut, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia belum berencana melakukan evakuasi karena tidak ada tanda-tanda kondisi darurat dari Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Niger. Lebih lanjut, dilansir dari tempo.co, pada (1/8), Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI, Judha Nugraha, mengatakan ada empat WNI yang tinggal di Niger. Satu WNI diketahui sedang mengambil cuti dan pulang ke tanah air. Sementara itu, tiga WNI lainnya bekerja di kota Tahoua di Niger. Ketiganya sudah dihubungi oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia dan telah terkonfirmasi dalam kondisi aman.