“Men are more capable than women”
Apakah Kawan WH setuju dengan kalimat di atas? Tidak dapat dipungkiri, kita masih sering mendengar bahwa mencapai kesuksesan sebagai perempuan dinilai lebih sulit. Hal ini dikarenakan banyak faktor seperti kesenjangan gender dan pola pikir. Namun, bagaimana hal ini sebenarnya termanifestasikan dalam realita dunia profesional dan keluarga?
Menembus Batas dan Melampauinya
Kesulitan ini menjadi realita bagi Ibu Mendy Sofari, seorang Head of PR and Marketing Communication di perusahaan retail untuk dua brand internasional. Setelah mendapatkan gelar dari jurusan Travel Industry Management dari Hawaii Pacific University, Bu Mendy mencoba beberapa bidang pekerjaan seperti perhotelan, management, dan pemasaran. Pada akhirnya , Bu Mendy memutuskan bidang fashion sebagai rumahnya. Bagi dirinya, kesempatan untuk berkeliling dunia dan berkunjung ke berbagai outlets ternama menjadi salah satu bagian dari Head of PR and Marketing Communication yang membawa banyak kesenangan. Di sisi lainnya, Bu Mendy berjuang untuk beradaptasi dalam menyesuaikan idealisme di benaknya dengan realita pekerjaan yang dilakukan. Not all sunshine and rainbows, ada berbagai tantangan yang juga dihadapi oleh Bu Mendy. Setelah bertahun-tahun bergelut dalam industri fashion, Bu Mendy mencatat signifikansi proses learning by doing. Berangkat dari tantangan paling umum dalam menjadi Head of PR yaitu kritik dari pengunjung, Bu Mendy berpendapat bahwa kritik dibutuhkan untuk menunjang perkembangan. Memang tidak mudah untuk beradaptasi dengan standar permintaan internasional yang cukup tinggi, tetapi ia menekankan bahwa ketika kita ingin mencapai keberhasilan kita harus beradaptasi dan menjadikan kesalahan sebagai guru.
Selama proses untuk menempati kedudukannya saat ini, Bu Mendy melihat ada banyak sekali sosok perempuan yang menjadi panutan bagi dirinya. Salah satunya adalah Jackie Kennedy, mantan ibu negara Amerika Serikat yang bersikap tangguh usai menyaksikan suaminya dibunuh di depan matanya. Selain itu, terdapat juga tokoh-tokoh nasional seperti Kartini dan Dewi Soekarno yang juga berperan dalam menunjukkan keteguhan dan kekuatan mereka dalam menjalani hidup yang dipenuhi oleh banyak tekanan. Sifat yang dimiliki oleh perempuan-perempuan ini merepresentasikan kapabilitas perempuan yang patut dicontoh oleh sesama perempuan lainnya.
Menjadi Pemimpin Perempuan
Berdasarkan panutannya, Bu Mendy juga membagikan arti seorang pemimpin di matanya. Menurutnya, pemimpin adalah sosok yang dapat menjadi contoh bagi orang lain. Menggunakan penggambaran kesehariannya sebagai seorang ibu yang mengatur rumah tangga, mengurus anak-anak, dan menjalankan tanggung jawab sebagai Head of PR and Marketing Communication di perusahaan internasional secara bersamaan, Bu Mendy melihat pemimpin sebagai sosok yang memiliki kapasitas untuk secara menyeluruh dapat menyelesaikan tugas dan keperluannya. Tentunya kemampuan memimpin adalah sesuatu yang harus dipupuk sejak dini. Hal ini menjadi alasan mendasar bagi Bu Mendy untuk menekankan bahwa leadership starts from home, lalu kemudian secara bertahap dikembangkan ke dalam skala yang lebih besar.
Salah satu turning point bagi dirinya adalah saat menjabat sebagai Brand Manager di sebuah toko perhiasan. Saat itu, Bu Mendy memimpin 5 staf yang belum dibekali keterampilan yang memadai. Situasi ini memunculkan beberapa permasalahan yang memunculkan urgensi untuk mendorong kerja sama dan keinginan belajar dengan dalam tim. Sebagai seorang pemimpin, Bu Mendy berperan untuk memberikan contoh dan merangkul staf-staf tersebut. Bu Mendy menegaskan bahwa seorang pemimpin tidak boleh hanya memerintah, tetapi juga menuntun dan mendampingi. Ia percaya bahwa pemimpin tidak dapat berdiri sendiri dan harus didukung oleh tim yang suportif. Di sisi lain, tim dengan solidaritas yang tinggi dan dapat saling mendukung bukanlah hal yang mudah untuk didirikan. Salah satu tantangan yang dihadapi Bu Mendy dalam membangun tim yang ideal adalah ketika tim mayoritas perempuan ini memiliki kebiasaan ‘julid.’ Dinamika kelompok yang memiliki kecenderungan untuk saling menyalahkan ini bertentangan dengan etos kerja miliknya. Ia yakin, diperlukan adanya diskusi dan mencari jalan keluar bersama-sama tanpa saling menyalahkan. Waduh, sudah dicolek tuh Kawan WH sama Bu Mendy kalau tidak boleh ‘julid’!
Berkaca pada realita masa kini mengenai potensi perempuan untuk berjuang, Bu Mendy melihat bahwa lingkungan kerja yang ia tempati sudah memberikan ruang bertumbuh yang baik. Secara keseluruhan, Bu Mendy melihat bahwa perempuan mendominasi lingkungan kerja fashion. Dalam lingkungan kerja berbagai merek internasional, Bu Mendy melihat bahwa kebanyakan merek internasional sudah dapat menangani isu ketidaksetaraan. Walaupun dirinya tidak melihat budaya patriarki yang kental dalam perusahaan yang ia tempati, Bu Mendy berpendapat bahwa sudah seharusnya semua orang memiliki kesempatan bekerja yang sama tanpa memandang gender. Dalam lingkungan kerjanya, Bu Mendy masih melihat sedikit adanya anggapan-anggapan yang mendukung stigma bahwa perempuan lebih ‘lemah’ dibandingkan laki-laki. tsb. Ironisnya, menyeimbangkan kehidupan sebagai seorang ibu rumah tangga dan Head of PR and Marketing Communication di perusahaan internasional bukanlah hal yang mudah, namun sudah menjadi makanan sehari-hari bagi alumni Hawaii Pacific University ini.
The question is always why and when? Seringkali kita mendengar pertanyaan mengenai kenapa kesetaraan gender sulit untuk dicapai atau kapan kesetaraan gender harus dikembangkan. Well, dari sudut pandang seorang orang tua, Bu Mendy menilai bahwa serupa dengan kepemimpinan, kesetaraan gender juga merupakan sebuah nilai yang perlu diajarkan sejak kecil kepada anak. Hal ini berdiri di atas keyakinannya bahwa ketika seseorang dapat menjunjung tinggi kesetaraan gender, mereka dapat mengadopsi nilai-nilai toleransi dan menghargai sesama dengan lebih baik. Sebagai seorang ibu yang memiliki anak perempuan, tentunya Bu Mendy tidak ingin anaknya mengalami perlakuan yang diskriminatif. Namun, jika memang hal tersebut terjadi, Bu Mendy menekankan pentingnya membuka ruang diskusi antara seluruh individu yang terlibat dan beradaptasi dengan norma sosial dalam lingkungan tersebut. Tetapi, Bu Mendy menaruh titik penekanan bahwa ketika dihadapkan pada diskriminasi, kita harus bijak dan pintar dalam mengambil tindakan agar tidak memicu kekerasan tanpa succumbing terhadap diskriminasi yang ada.
Kawan WH, sehabis perkuliahan kita akan masuk ke dunia kerja yang tentunya diwarnai oleh lebih banyak tantangan. Sejujurnya, Siti juga takut membayangkan lima sampai sepuluh tahun kedepan akan bekerja seperti apa. Tidak membantah kebenaran yang telah ia jalani, Bu Mendy berkata bahwa sebagai generasi muda, semakin kita melangkah ke depan, tentu akan semakin banyak permasalahan yang muncul. Namun, Bu Mendy juga menekankan bahwa kita semua harus tetap semangat untuk terus bergerak maju dan tidak menyerah ketika dihadapkan oleh penolakan. Semoga kita bisa mencapai target dan impian kita masing-masing, ya. Semangat, Kawan WH!