Meregulasi Emosi demi Mencapai Kesejahteraan Mental ala Yohanes don Bosco

Dalam kehidupan sehari-hari yang bising, terkadang kita merasa terjebak dalam sepi dan penuh tekanan. Rasanya seperti ada beban yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata dan seringkali kita merasa kesulitan untuk menceritakan perasaan itu kepada orang lain. Bersama Siti, kita akan merenungkan pengalaman saat merasa tertekan dan sulit untuk membuka diri kepada orang lain. Syukurnya, Siti telah berjumpa dengan Mas Yohanes don Bosco atau yang akrab dikenal sebagai Mas YB, seorang konselor dari Lembaga Pengembangan Humaniora Universitas Katolik Parahyangan (LPH UNPAR). Siti akan mengungkapkan beberapa renungan beliau kepada KawanWH! Yuk, kita selami lautan emosi yang sering tersembunyi di balik sebuah senyuman dan temukan makna di balik tantangan dan kesulitan kita untuk bercerita.

Kompleksitas Perasaan dan Kesejahteraan Mental

Mas YB menuturkan bahwa maraknya kesulitan yang dialami orang dalam bercerita atau berekspresi tentang isi hati dan pikiran kepada orang lain dapat mengganggu kesehatan mental kita, lho. Mas YB menggunakan analogi “Memasak air dalam teko” yang melambangkan emosi kita dan teko yang mencerminkan kondisi mental kita untuk menampung emosi tersebut. Jika kita memasak air selama 3 menit, mungkin suhunya tidak akan banyak berubah, tetapi berbeda dengan waktu memasak selama 10 menit ketika air sudah mendidih. Mas YB menekankan jika teko mendidih dan api tidak segera dimatikan, akan ada bunyi peluit yang memberi tahu bahwa air sudah mendidih dan bisa meledak. Sama halnya dengan manusia, jika perasaan terus dipendam, kita bisa mencapai titik didih seperti teko. Perasaan terpendam yang terakumulasi dapat membuat seseorang lebih sensitif hanya karena hal sepele. 

Melalui analogi ini, banyak orang dihadapkan pada tantangan untuk memahami perasaan dan kondisi mental mereka sendiri agar tidak meledak seperti teko itu. Mas YB menjelaskan bahwa tantangan ini bisa terjadi karena adanya stigma sosial di masyarakat seperti “begitu aja kok sedih, sih.” Stigma-stigma tersebut menghambat kemampuan seseorang untuk mengenali dan memproses emosinya yang kemudian ditambah dengan beban label dari orang lain, seperti “Kamu anak pertama harus bisa sukses.” Hal seperti ini membuat banyak orang tidak dapat bertanggung jawab penuh dengan dinamika emosi diri sendiri yang terus diatur oleh orang lain sehingga harapan orang lain lebih sering dipenuhi dibandingkan harapan diri sendiri.

Memahami Cerita dan Emosi

Menurut Mas YB, untuk bisa memahami emosi diri sendiri, kita butuh yang namanya regulasi emosi. Regulasi ini menjadi semacam titik pusat yang membantu kita melihat dan mengendalikan perasaan emosi dengan sudut pandang yang lebih luas. Pemahaman terhadap regulasi Ini seperti membuka jalan bagi diri sendiri untuk bisa mengelola perasaan yang kita rasakan. Bayangkan sebuah segitiga sama kaki, setiap ujung dari segitiga tersebut mengarah ke konsep Pikiran – Perasaan – Tindakan. Mas YB menjelaskan bahwa ketiga unsur intrinsik manusia ini sering berkaitan dengan seseorang yang hendak membuat keputusan dalam hidupnya. Kita akan lebih merasakan tindakan yang dilakukan itu dari perasaan atau pikiran sehingga dapat menentukan arah pilihan kita. 

Meskipun penting untuk meregulasi emosi, kemampuan untuk berbagi dengan orang lain juga tidak kalah penting. Mas YB menegaskan kembali melalui analogi teko, bahwa semakin lama kita memendam perasaan, hasilnya kerap berujung negatif. Maka, dalam upaya memahami diri, bercerita menjadi langkah terbaik untuk menghindari potensi “Meledak”!

Tahu nggak, selain perlu bercerita kepada orang lain ketika ada masalah, kita juga perlu menjadi pendengar yang baik ketika hal yang sama terjadi kepada orang lain. Mas YB membocorkan cara untuk jadi pendengar yang baik, kita perlu mendengar dengan aktif, yakni dengan melibatkan semua panca indera dan menunjukkan rasa empati kepada teman yang sedang mencurahkan isi hatinya. Ketika sedang mendengarkan dengan aktif, kita perlu memahami konteks atau situasi yang sedang dialami dan dirasakan oleh orang yang sedang cerita. Tetapi, perlu diingat juga, tidak semua orang yang sedang bercerita itu mencari solusi, lho, mungkin mereka hanya membutuhkan seorang pendengar saja.

Seek Professional Help

Jika merasa belum puas mengeluarkan emosi kita melalui bercerita kepada teman, KawanWH perlu ingat bahwa ada berbagai fasilitas layanan profesional yang siap membantu meringankan beban emosi yang dirasakan.

Mas YB menjelaskan tantangannya sebagai konselor adalah budaya untuk melakukan self diagnosis. Self diagnosis ini cukup memperkeruh kondisi kesehatan mental seseorang yang tidak dipantau oleh seorang psikolog profesional. Mas YB memberikan saran ketika kita memang merasa ada yang “aneh” dalam diri kita, sebaiknya segera pergi menemui orang profesional, entah itu seorang psikolog atau psikiater. Yang penting adalah untuk tidak melakukan self diagnosis!

Mas YB menegaskan peran psikolog sendiri adalah untuk membantu client-nya dalam hubungan timbal balik untuk mencapai ketenangan dan mengupayakan perubahan kepada kesehatan mental yang lebih baik. Perlu diingat bahwa seorang psikolog tidak akan memaksa sang client untuk berubah, tetapi client sendiri yang perlu menyadari dulu bahwa ia harus dan mampu berubah demi kebaikan dirinya sendiri. 

Untuk memahami peran psikolog, mas YB bercerita mengenai pengalaman yang pernah ia lalui dalam menangani kasus-kasus kesehatan mental. Secara garis besar, mas YB sering mendapati orang-orang yang menceritakan masalah akademik. Usut punya usut, ternyata mereka memiliki permasalahan yang lebih mendalam dan mengakar pada dirinya.

It’s Okay to Not Be Okay

Akhir kata, Mas YB menyemangati mereka yang masih harus bergelut dalam diri dengan dua pesan. Pertama, kita perlu menerima segala aspek kehidupan, baik keindahannya juga keburukannya karena semua itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang telah ditetapkan. Kedua, Mas YB mengingatkan untuk tidak melupakan mengapresiasi diri sendiri. Apapun masalah yang pernah dilalui, itulah yang membentuk diri kita saat ini. Namun, penting diingat juga bahwa akan selalu ada bantuan dari orang lain yang siap membantu kita, entah itu sekadar menjadi pendengar dan memberi dukungan moral atau turun tangan dan langsung membantu kita! Ingat, kita tidak sendiri. Akan ada dukungan dari orang-orang di sekitar kita. Apabila perlu, jangan segan untuk menyapa para konselor psikologi di LPH Unpar yang tidak dikenakan biaya ataupun kalian bisa mencari bantuan terdekat!

Narahubung LPH UNPAR : (022) 2032655, @konselinglphunpar