Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan Kanada kembali mengguncang ekonomi global, serta memberikan dampak signifikan terhadap nilai tukar rupiah. Pada Selasa (12/03) saat pembukaan perdagangan, rupiah melemah dari Rp16.409 menjadi Rp16.443 per dolar AS. Hal tersebut dipicu oleh arus modal keluar yang meningkat akibat ketidakpastian di pasar keuangan global. Dilansir dari The Guardian, ketegangan ini bermula ketika AS memberlakukan tarif 25% terhadap baja dan aluminium asal Kanada. Sebagai respons, Kanada menerapkan tarif balasan senilai US$21 miliar terhadap berbagai produk AS, termasuk logam, komputer, dan peralatan olahraga. Kebijakan saling balas ini mendorong investor global mengalihkan aset mereka ke instrumen yang lebih aman, seperti dolar AS. Hal ini dapat meningkatkan tekanan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
Selain itu, kebijakan proteksionisme yang semakin agresif di bawah pemerintahan Donald Trump memperburuk ketidakpastian ekonomi global. Kekhawatiran terhadap dampak perang dagang yang berkepanjangan, membuat investor enggan berinvestasi di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini memperparah arus modal keluar dan melemahkan rupiah. Melansir dari Morgan Stanley Capital International (MSCI), pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh proyeksi defisit APBN 2025 sebesar 2,53% dari PDB. Ketidakpastian ekonomi global dapat memperburuk defisit ini, yang kemudian menurunkan kepercayaan investor asing terhadap prospek ekonomi Indonesia. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyatakan bahwa fluktuasi nilai tukar dapat menghambat masuknya investasi asing langsung dan investasi portofolio. “Jika kondisi ini terus berlanjut, stabilitas rupiah dan investasi dalam negeri dapat semakin tertekan,“ ujarnya. Wijayanto juga menambahkan, bahwa pelemahan rupiah juga berimplikasi pada meningkatnya imbal hasil obligasi pemerintah yang berdampak pada kenaikan beban utang negara, dengan rencana penerbitan utang baru senilai Rp1.575 triliun pada 2025. Nilai tukar yang stabil sangat penting dalam keberhasilan pelunasan atau restrukturisasi utang. Dilansir dari Komunal, jika kondisi global semakin tidak menentu, maka Bank Indonesia harus menyesuaikan suku bunga guna menjaga daya tarik rupiah di mata investor asing.
Risiko inflasi yang dipicu oleh kenaikan biaya impor dan depresiasi rupiah dapat menciptakan tekanan berlapis terhadap perekonomian nasional, terutama karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Lonjakan harga impor ini secara langsung berdampak pada peningkatan biaya produksi, yang pada gilirannya mendorong kenaikan harga barang dan jasa di pasar domestik sehingga memperparah laju inflasi. Di sisi lain, utang dalam denominasi dolar AS menjadi beban tambahan bagi pemerintah dan sektor korporasi, terutama dalam kondisi depresiasi rupiah. Hal tersebut dikarenakan adanya peningkatan biaya pembayaran utang luar negeri yang menguras cadangan devisa dan mempersempit ruang fiskal. Tekanan ini tidak hanya berpotensi menekan anggaran negara, tetapi juga meningkatkan risiko gagal bayar bagi perusahaan yang memiliki utang dalam valuta asing. Jika hal tersebut tidak dikelola dengan baik, dapat mengguncang stabilitas keuangan nasional, melemahkan daya saing industri, serta memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Dilansir dari Doo Financial Futures, analis mata uang, Lukman Leong, menyebut kebijakan proteksionisme AS sebagai salah satu faktor utama yang mendorong pelemahan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. “Ancaman kenaikan tarif terhadap Kanada serta perang dagang yang semakin memanas turut mempengaruhi pergerakan mata uang di pasar negara berkembang, sehingga Bank Indonesia perlu segera mengambil langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi,” ujarnya. Kebijakan moneter yang lebih ketat, intervensi dipasar valuta asing, serta koordinasi dengan sektor terkait merupakan tindakan-tindakan yang harus segera dioptimalkan guna meredam dampak pelemahan rupiah. Selain itu, pihaknya juga mengatakan bahwa memperkuat fundamental ekonomi domestik merupakan kunci utama dalam menghadapi ketidakpastian global. Pemerintah harus mendorong ekspor, meningkatkan investasi dalam negeri, serta memastikan kebijakan ekonomi yang stabil agar dapat menekan arus modal keluar. Pelemahan rupiah saat ini merupakan kombinasi dari perang dagang AS-Kanada dan defisit APBN 2025. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang tepat guna menjaga stabilitas ekonomi nasional serta mencegah pelemahan rupiah yang lebih dalam di masa mendatang.