Revolution in Vogue

KawanWH, kalian pasti nggak asing lagi dong sama yang namanya fashion? Tapi pernah nggak kepikiran, kok bisa fashion dan demokrasi saling berkaitan? Padahal kelihatannya mereka dari dua dunia yang berbeda. Ternyata fashion bukan  hanya tentang penampilan, tapi juga tentang identitas, ekspresi diri, dan kekuatan simbolis. Dalam dunia politik, fashion bisa menjadi alat komunikasi yang powerful, lho KawanWH. Pada penasaran nggak sih dengan keterkaitan tersebut? Yuk simak bersama-sama! 

A way towards democracy

KawanWH, ternyata kebebasan fashion juga sering menjadi tolak ukur demokrasi di suatu negara, lho! Karena negara-negara dengan pemerintahan otoriter cenderung membatasi cara perempuan berpakaian, berbeda dengan negara yang memiliki sistem demokratis, perempuan lebih punya hak untuk mengekspresikan diri mereka termasuk lewat pakaian yang mereka kenakan. Karena demokrasi itu menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, fashion dapat menjadi salah satu instrumen dalam mengekspresikan kebebasan tersebut, KawanWH! Sepanjang sejarah, perempuan sering menggunakan fashion sebagai alat perjuangan politik. Dari pemakaian celana panjang oleh feminis di awal abad ke-20 yang menantang norma patriarki, hingga gerakan Pussyhat dalam Women’s March yang menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan gender. 

Di era dan kondisi demokrasi negara saat ini, fashion bisa menjadi salah satu instrumen untuk siapapun berpendapat tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun. Sama seperti kebebasan berbicara dalam sistem demokrasi, fashion bisa memberi ruang bagi siapa saja untuk bersuara. Apakah kamu setuju, KawanWH?

Dressing Power

KawanWH, pernah dengar istilah Suffragette White? Warna putih ini bukan sekadar pilihan gaya, tapi memiliki sejarah panjang dalam perjuangan hak-hak perempuan, khususnya dalam gerakan suffragette atau hak pilih perempuan. Pada awal abad ke-20, para pejuang hak pilih perempuan di Inggris dan Amerika Serikat menggunakan warna putih sebagai simbol kemurnian dan tekad mereka dalam memperjuangkan kesetaraan politik. Hingga pada akhirnya, warna putih menjadi bagian penting dari identitas gerakan suffragette. Warna ini juga sering disandingkan dengan ungu yang melambangkan martabat serta hijau yang menyimbolkan harapan. 

Hingga hari ini, warna putih masih sering digunakan untuk menghormati perjuangan perempuan dalam politik. Contohnya banyak politisi perempuan mengenakan pakaian putih dalam momen-momen penting, seperti saat Women’s March atau ketika anggota Kongres perempuan di Amerika Serikat mengenakan pakaian putih dalam pidato kenegaraan sebagai bentuk solidaritas terhadap hak-hak perempuan. 

Wool and Will

Ngomong-ngomong soal Women’s March, KawanWH pernah denger nggak sih soal gerakan Pussyhat yang dilakukan oleh peserta Women’s March 2017? Mereka mengenakan topi rajut berwarna pink dengan desain menyerupai telinga kucing. Tapi, jangan salah! Topi ini bukan sekadar aksesori lucu, melainkan simbol perlawanan terhadap seksisme, solidaritas, dan pengakuan atas kekuatan perempuan dalam politik.

Pussyhat ini pertama kali muncul dalam Women’s March tahun 2017 di Amerika Serikat, KawanWH. Gerakan ini merupakan sebuah aksi protes besar-besaran yang menentang kebijakan serta pernyataan seksis yang dianggap merugikan perempuan. Warna pink dipilih bukan hanya karena sering dianggap sebagai warna feminin, tetapi dalam konteks ini, warna pink memiliki makna untuk merebut kembali kekuatan dan kebanggaan atas identitas perempuan. Desainnya yang menyerupai telinga kucing juga merujuk pada istilah pussy, yang digunakan dalam komentar kontroversial oleh tokoh politik saat itu. 

Gerakan-gerakan ini menunjukkan bagaimana fashion bisa menjadi alat komunikasi politik yang kuat. Wah ternyata, pakaian yang sederhana sekalipun bisa membawa pesan besar dalam perjuangan sosial ya KawanWH! 

Powerful Silence 

Nah KawanWH, dari semua yang sudah kita bahas, ternyata fashion bukan sekadar soal gaya atau tren semata, tapi punya makna yang jauh lebih dalam ya! Fashion bisa menjadi bentuk ekspresi diri, bahkan simbol perlawanan dalam dunia politik, terutama bagi perempuan. Dalam konteks demokrasi, kebebasan berpakaian mencerminkan juga kebebasan berekspresi— salah satu pilar utama dari demokrasi itu sendiri. 

Dari Suffragette White sampai Pussyhat, kita bisa melihat bagaimana fashion menjelma menjadi suara yang lantang dalam menyuarakan hak, keadilan, dan kesetaraan. Jadi, yuk mulai jadikan pakaian kita bukan sekedar busana, tetapi juga sebagai kekuatan yang kita kenakan. Siapa tahu, melalui fashion, kita juga bisa turut menyuarakan perubahan!