Di tengah gejolak demokrasi Indonesia, ternyata ruang bagi perempuan tanah air masih belum sepenuhnya setara. Rasa aman untuk hadir dalam ruang-ruang pengambilan keputusan dan bersuara masih jarang dirasakan oleh perempuan, akibat anggapan negatif terhadap kepemimpinan mereka. Padahal, saat ini sudah ada kebijakan afirmatif berupa kuota partisipasi perempuan minimal 30% di parlemen, lho, KawanWH! Namun sayangnya, keberadaan kebijakan tersebut nyatanya belum dapat menjamin suara perempuan benar-benar didengar di pemerintahan. Berangkat dari ketimpangan tersebut, isu kesetaraan gender kerap dikaitkan dengan praktik demokrasi di Indonesia. Nah, bicara soal gender equality, Siti mau memperkenalkan seorang aktivis muda dan founder dari komunitas Sensible Indonesia, yaitu Neisya Septifrita—atau yang akrab disapa sebagai Neisya.
Setelah berbincang dengan Neisya, Siti menemukan banyak hal yang menyentuh tentang bagaimana perempuan masih harus memperjuangkan posisinya dalam demokrasi. Banyak tantangan yang perlu dihadapi oleh perempuan Indonesia untuk sekadar mendapatkan hak dasarnya, seperti tantangan yang dihadapi oleh Neisya dalam membentuk komunitas Sensible. Pengalaman Neisya akan membuka mata kita tentang bagaimana demokrasi masih menjadi arena perang dan perjuangan—bukan hanya soal politik, tetapi juga mengenai keberanian untuk didengar, diakui, dan dihargai selayaknya manusia seutuhnya.
Setara di Atas Kertas, Separuh di Kenyataan
Menurut Neisya, demokrasi di Indonesia telah menunjukkan perkembangan, namun belum cukup aman dan setara bagi perempuan. Kehadiran perempuan dalam dinamika politik kerap kali dianggap sebatas formalitas atau hanya untuk pemenuhan kuota forum saja. Perempuan belum benar-benar dipercaya untuk menjadi bagian dari pembuat kebijakan, apalagi untuk memimpin. Sebagai mahasiswa Hukum di Universitas Gadjah Mada, Neisya juga menegaskan bahwa representasi tidak sama dengan partisipasi. Meskipun partisipasi perempuan sudah cukup tinggi secara kuantitas, hal tersebut belum memberikan dampak yang sama secara kualitas.
Pengalaman yang dialami oleh perempuan tentunya tidak lepas dari adanya bias gender yang tumbuh subur dalam budaya patriarki. Perempuan yang berani bersuara seringkali dicap emosional dan menyalahi kodrat yang dimilikinya, dan masih dianggap sebagai kaum yang rentan dan tidak berdaya. Di sisi lain, laki-laki selalu dipilih untuk menjadi pemimpin, karena disebut sebagai gender yang pemberani, tegas, dan punya pendirian. Standar ganda yang dilanggengkan oleh masyarakat ini membuat perempuan harus membuktikan diri mereka lebih keras agar dipandang sejajar. Neisya juga menyoroti bahwa perempuan adat termasuk kelompok yang terabaikan, padahal sebenarnya mereka memiliki suara yang sama penting dengan suara kelompok-kelompok lain yang lebih sering didengar dan hak-haknya perlu lebih dijamin dalam sistem yang adil.
Sayangnya, advokasi kesetaraan gender yang dilakukan oleh Neisya dan teman-teman Sensible masih sering di salah pahami, nih, KawanWH! Banyak orang yang mengira perempuan ingin mengimbangi atau bahkan melampaui laki-laki melalui gerakan-gerakan yang lebih vokal dalam memperjuangkan haknya. Padahal, seperti yang dijelaskan Neisya, kesetaraan itu bukan tentang siapa yang lebih unggul, tetapi bagaimana perempuan dan laki-laki bisa memiliki kesempatan yang sama tanpa harus mengalami diskriminasi. Ia juga menekankan pentingnya memahami perbedaan antara equality dan equity. Equality bukan tentang menyeragamkan, melainkan tentang memberikan ruang dan dukungan sesuai dengan kebutuhan. Sementara equity—yang memperhitungkan perbedaan—justru menjadi kunci untuk membentuk sistem demokrasi yang benar-benar setara.
Luka Pemantik Keberanian: Awal Perjalanan Mencari Ruang
Keberanian yang dimiliki Neisya untuk bersuara tidak muncul secepat membalikkan telapak tangan. Neisya belajar banyak tentang ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dari kejadian-kejadian yang dialami oleh orang-orang disekitarnya. Mulai dari dirinya yang disingkirkan meski punya jutaan potensi digenggamannya, hingga pengalaman-pengalaman yang tampaknya sepele di lingkungan sehari-harinya, yang kemudian menjadi bekal Neisya untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan. KawanWH pasti pernah mendengar kasus korban pelecehan seksual yang malah disalahkan karena pakaiannya, kan? Hal semacam itu juga menjadi salah satu titik puncak ketidakadilan yang mendorong Neisya untuk tidak tinggal diam. Ia percaya bahwa jika ia hanya menyaksikan semua kejadian itu saja, ketidaksetaraan itu akan semakin dinormalisasi. Dari sanalah Sensible lahir—komunitas yang dibentuk sebagai ruang aman yang tumbuh dari keresahan, dan menjadi langkah awal untuk mencari ruang sebebas-bebasnya di masyarakat.
Perjalanan yang dijalani oleh Neisya tentu tidak selalu berjalan mulus. Dalam berbagai kegiatan atau forum kesetaraan gender yang ia hadiri, tak jarang ia bertemu dengan orang-orang yang merasa paling benar. Ada yang enggan berdiskusi, menolak untuk mendengar perspektif orang lain, dan lebih memilih untuk menghakimi. Menghadapi orang dengan sikap self-righteous seperti ini, menurut Neisya, membutuhkan kesabaran dan empati yang tidak sedikit. Meski cukup melelahkan dan bisa menurunkan semangat kita, ia mencoba melihat dari sisi lain—bahwa mungkin ada latar belakang tertentu yang membuat seseorang bersikap tertutup terhadap pandangan orang lain. Ia percaya bahwa semua orang punya pengalaman hidupnya masing-masing, dan karena itu, tidak seharusnya kita menghakimi mereka. Sebaliknya, Neisya memilih menggunakan pendekatan yang lebih personal untuk menanggapi orang yang memiliki self-righteousness. Namun, saat situasi mulai terasa tidak sehat dan menguras energi secara emosional dalam menghadapi orang tersebut, ia pun tak ragu untuk menjaga jarak demi menjaga ruang aman bagi dirinya sendiri.
Hal serupa juga dirasakan oleh Neisya ketika ia bersuara di media sosial, terutama ketika topik yang dibawanya menyentuh isu-isu yang tabu di masyarakat. Ia menyadari betul risiko yang akan datang bersama dengan keberanian yang dimilikinya. Mulai dari komentar merendahkan, sindiran tajam, atau bahkan ancaman yang muncul dari mana dan di mana saja, perlu dihadapi olehnya. Akan tetapi bagi Neisya, rasa takut itu bukan alasan untuk berhenti, melainkan rasa takut itu menyadarkannya bahwa keberanian bisa tumbuh apabila ia berada di lingkungan yang tepat. Selain menjadi tempat aman, Sensible kini menjadi rumah dari kenyamanan dan kekuatan yang dimiliki oleh Neisya. Di sana, ia belajar bahwa munculnya keberanian bukan karena rasa takut itu hilang, tapi muncul berkat dukungan orang sekitar. Wah, komunitas kaya Sensible tuh, emang safe place idaman banget, ya, KawanWH!
Untuk Semua Kartini yang Masih Bertahan
Bagi Neisya, demokrasi yang ideal itu bukan hanya soal pemilu yang dilakukan tiap lima tahun sekali. Ia membayangkan demokrasi sebagai ruang yang aman bagi semua orang untuk bersuara tanpa takut dihakimi atau dibungkam. Neisya sangat berharap suara perempuan tidak hanya diangkat saat peringatan Hari Kartini atau International Women’s Day saja, namun di hari-hari biasa, dan di masa depan, perempuan juga berhak untuk didengar. Untuk setara bukan hanya untuk sama, tetapi untuk diberi kesempatan yang adil—tanpa diskriminasi, dan tanpa batasan atas siapa yang layak didengar.
Menjelang Hari Kartini, Neisya juga menitipkan pesan untuk kita semua, nih, KawanWH. Baginya, sosok Kartini bukan lahir hanya untuk dikenang, tetapi untuk diteruskan semangatnya—melalui berbagai bentuk perjuangan yang beragam. Ia ingin mengingatkan bahwa setiap perempuan itu penting, layak untuk didengar, dan berhak atas ruang yang aman—baik mereka yang bersuara di ruang publik, yang sering disingkirkan, yang harus bekerja dengan rasa tidak aman, hingga mereka yang mengusahakan perubahan kecil dari dalam kamar—semuanya punya peran berarti dalam membentuk masa depan yang lebih inklusif. Keberanian yang kalian miliki sampai hari ini adalah sesuatu yang sangat berharga, and we’re all in this together, KawanWH!