Kebijakan Tarif AS: Optimisme Ekonomi Indonesia Rapuh

Latar Belakang dan Tujuan Kebijakan Tarif AS 

Dikutip dari laman resmi The White House, Rabu (2/4), dalam pernyataannya,  Presiden Donald Trump mengatakan bahwa selama bertahun-tahun Amerika Serikat (AS) mengalami defisit perdagangan barang tahunan yang besar dan terus-menerus. Menurut Trump, akar permasalahan ini terletak pada kurangnya timbal balik dalam hubungan perdagangan bilateral yang mengarah pada ketimpangan besar dalam tarif serta hambatan non-tarif. Negara-negara mitra dianggap mempersulit ekspor AS, dengan menjalankan kebijakan yang meningkatkan daya saing produk mereka. Kemudian menurut Trump, “hal ini akhirnya menyebabkan pengosongan basis manufaktur dan menghambat kemampuan kita untuk meningkatkan kapasitas manufaktur domestik yang maju”, ujarnya. Selanjutnya, menurut Trump, sistem Most-Favored-Nation (MFN) yang diatur oleh WTO menciptakan situasi AS, yang hanya mempunyai tarif rata-rata  3,3%, dimana hal ini berada jauh dibawah negara-negara mitra utama seperti Brasil (11,2%), China (7,5%), Uni Eropa (5%), India (17%), dan Vietnam (9,4%). Bahkan pada produk tertentu, perbedaan tarif cukup mencolok. AS hanya mengenakan tarif 2,5% untuk kendaraan penumpang, sementara Uni Eropa memungut 10%, India 70%, dan China 15%. Untuk sakelar dan router jaringan, tarif AS adalah 0%, sedangkan India 10%, Brasil 18%, dan Indonesia 30% untuk etanol. Produk-produk seperti beras sekam dan apel juga menunjukkan pola serupa, dimana negara lain menerapkan tarif tinggi terhadap produk yang dibebaskan di AS.

Kebijakan yang Sudah Dikeluarkan 

Kebijakan dimulai pada Sabtu (1/2), ketika AS menerapkan tarif sebesar 25% terhadap seluruh barang impor dari Meksiko dan Kanada. Meski demikian, ekspor minyak dan energi dari Kanada diberikan pengecualian dengan hanya dikenakan tarif sebesar 10%. Langkah ini menandakan perubahan sikap yang lebih keras terhadap negara tetangga, terutama dalam konteks renegosiasi hubungan dagang setelah era NAFTA dan USMCA. Kemudian, pada Kamis (13/2), Presiden Trump secara resmi mengumumkan kebijakan “tarif resiprokal”. Kebijakan ini bertujuan untuk mencerminkan tarif yang dikenakan oleh negara lain terhadap barang-barang AS. Dengan kata lain, jika suatu negara mengenakan tarif tinggi terhadap produk AS, maka AS akan membalas dengan tarif yang sama. “Tujuannya jelas, yakni untuk mencapai perdagangan yang lebih adil dan menghentikan praktik yang dianggap eksploitatif terhadap pasar AS.” ujar Trump

Puncak kebijakan ini terjadi pada Rabu (2/4), Trump meluncurkan Perintah Eksekutif 14257, yang disebut sebagai “Liberation Day Tariffs”. Kebijakan ini menetapkan tarif dasar global sebesar 10% terhadap semua barang impor, tarif 20% terhadap barang dari Uni Eropa, dan Tarif sebesar 104% terhadap barang-barang asal China. Seminggu setelahnya, pada Rabu (9/4), terjadi sedikit pelonggaran. Pemerintah mengumumkan penangguhan tarif selama 90 hari untuk lebih dari 75 negara yang tidak melakukan tindakan balasan terhadap kebijakan tarif AS. Dalam masa penangguhan ini, tarif diturunkan menjadi 10%. Akan tetapi, sebagai bentuk pembalasan terhadap kebijakan dagang Tiongkok, tarif terhadap China justru dinaikkan menjadi 125%.

Dampak Terhadap Indonesia 

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa kebijakan tarif resiprokal hingga 32% yang diterapkan AS akan memberikan tekanan besar terhadap ekonomi Indonesia, terutama di sektor ekspor. “Tarif resiprokal hingga 32% akan berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia,” ujarnya . Walaupun ekspor Indonesia ke AS hanya menyumbang sekitar 10,5% dari total ekspor non-migas, efek limpahan (spillover effect) dari kebijakan ini bisa menjalar ke negara-negara lain. Bhima menyoroti ekspor otomotif Indonesia ke AS yang mencapai USD 280,4 juta pada 2023, tumbuh rata-rata 11 persen sejak 2019. Namun, ia mengingatkan bahwa pertumbuhan tersebut bisa berubah menjadi negatif jika tarif impor dinaikkan secara signifikan. Bhima menjelaskan bahwa konsumen AS akan menghadapi harga kendaraan yang lebih tinggi, sehingga hal ini akan menurunkan penjualan produk asal Indonesia. Meningkatnya potensi resesi ekonomi di AS dapat berdampak langsung ke Indonesia. “Setiap penurunan 1 persen pertumbuhan ekonomi AS, dapat menurunkan ekonomi Indonesia sebesar 0,08 persen,” jelasnya. 

Di sisi lain, Hosianna Evalita Situmorang, ekonom dari Bank Danamon, mengungkapkan bahwa kebijakan tarif tersebut juga berisiko besar bagi sektor tekstil, alas kaki, dan elektronik. “Dampak kebijakan ini ekspor berisiko terjadi pada sektor tekstil, alas kaki dan elektronik yang mungkin kesulitan di pasar AS,” ujarnya pada Kamis (3/4). Data BPS menunjukkan ekspor TPT Indonesia ke AS pada Februari 2025 mencapai USD 1,02 miliar, naik 1,41 persen dari Januari, dengan kenaikan tertinggi ke AS sebesar USD 17,4 juta. Hosianna menambahkan bahwa masuknya Indonesia dalam daftar negara yang dikenai tarif balasan lebih tinggi oleh AS, dapat “meningkatkan kekhawatiran investasi bagi investor asing karena perusahaan-perusahaan AS dapat mengurangi investasi di Indonesia.

Langkah yang Dapat Diambil oleh Indonesia 

Muhammad Edhie Purnawan, Ph.D., ekonom dari FEB UGM, menilai bahwa respons optimal Indonesia terhadap kebijakan tarif AS adalah melalui pendekatan diplomasi ekonomi campuran, diversifikasi pasar, dan dukungan domestik. Ia menyarankan agar Indonesia menempuh jalur diplomatik untuk meredam potensi pembalasan, salah satunya dengan mengaktifkan kembali Perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi (TIFA) guna mengatasi hambatan perdagangan. Untuk menarik minat perusahaan Amerika, Edhie menyarankan deregulasi kebijakan non-tarif, seperti pelonggaran persyaratan konten lokal bagi perusahaan TIK seperti GE, Apple, Oracle, dan Microsoft. Selain itu, insentif fiskal berupa pengurangan bea masuk, pajak penghasilan, dan pajak pertambahan nilai juga dapat dipertimbangkan. Strategi lain yang ia sarankan adalah diversifikasi pasar ekspor ke kawasan ASEAN, Eropa, dan Timur Tengah. Bergabung dalam blok perdagangan seperti Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) atau BRICS dapat menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada AS, sejalan dengan prinsip “opsi keluar” dalam teori permainan.

Strategi Usaha Diplomasi Indonesia 

Menanggapi kebijakan tarif global yang diumumkan Presiden Trump, pada Rabu (9/4), Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa Indonesia akan menempuh jalur diplomasi dan negosiasi untuk mencari solusi yang saling menguntungkan. “Pendekatan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang hubungan perdagangan bilateral, sekaligus menjaga iklim investasi dan stabilitas ekonomi nasional,” ujar Airlangga. Pemerintah juga berkomitmen mendukung sektor-sektor yang berpotensi terdampak, seperti industri pakaian jadi dan alas kaki. Tarif AS terhadap Indonesia, yang termasuk dalam enam negara Asia Tenggara paling terdampak. Kemudian, Airlangga juga menyampaikan bahwa pemerintah akan mengumpulkan masukan dari pelaku usaha pada hari Senin (14/4) untuk menyusun strategi menghadapi kebijakan tarif tersebut. Sebagai langkah alternatif, Indonesia juga akan meningkatkan perdagangan dengan negara-negara Eropa sebagai pengganti AS dan China. Dalam upaya lebih lanjut, Jakarta akan mengirim delegasi tingkat tinggi ke AS untuk melakukan negosiasi langsung dengan pemerintah Amerika Serikat, mengingat Indonesia sendiri mencatatkan surplus perdagangan sebesar $16,8 miliar dengan AS pada 2024, menjadikan AS sebagai tujuan ekspor terbesar ketiga. Total pengiriman barang ke AS mencapai $26,3 miliar, dengan komoditas utama berupa barang elektronik, pakaian jadi dan sandang, serta alas kaki.